Tuntutan Aksi Dalam Memilih
Hampir lika-liku kehidupan yang sedang saya jalani sekarang dilalui atas dasar keputusan dan kesepakatan.
Mau seberapa banyak dalih yang dikeluarkan tetap tidak akan pernah bisa menyangkal pernyataan itu. Lucunya keputusan dan kesepakatan yang disetujui berlalu begitu saja bahkan terkadang tidak disadari hadirnya. Malas untuk menilisik setiap keputusan yang diambil atau selalu berargumen untuk melaksanakan kesepakatan yang disetujui: alasan selalu terjadi. Kesalahan mungkin sudah sering terjadi, entah memang saya tidak tahu, bodoh atau bersikap ‘sok idealis’. Namanya juga mahasiswa, kadang-kadang belum mengerti cara kerja dunia yang tidak selamanya manis untuk dibagi-bagi.
Semakin berumur maka semakin sadar bahwa bentuk tanggung jawab dalam mengambil suatu keputusan itu butuh kepiawaian. Bukan hanya untuk menunjukkan bahwa kita mampu dan bisa. Lebih dari itu. Analisa akan sesuatu yang terjadi itu betul-betul harus dilakukan. Bagaimana nanti bisa berdampak untuk diri sendiri, masyarakat, lingkungan, sosial, norma dan lain sebagainya. Wajar saja, bila analisa pengambilan keputusan membutuhkan waktu yang lama karena variabel yang bergantung sangatlah banyak.
Ketenangan harus dicampur ke dalam keputusan supaya menjadi penyeimbang untuk melawan keegoisan. Menapak dengan hati-hati dan melangkah dengan cara merangkak tidak akan pernah saya komentari. Memang terkadang perlu untuk melihat sesuatu yang tinggi itu dari bawah. Biar kaki-kaki sebagai penopang dan penggerak itu terlihat jelas ‘siapa’ dan ‘mengapa’nya. Kemudian beristirahat sambil mendengarkan musik atau podcast endgame untuk belajar rencana hidup milik orang lain.
Keberanian untuk menarik kesimpulan itu lebih besar lagi. Pengorbanan batin tergerus oleh kemauan dan hak-hak orang lain yang mungkin lebih membutuhkan. Bercerita tentang sesuatu yang mungkin tidak pernah kita alami tetapi sangat umum terjadi bagi mereka. Berani itu lahir karena diciptakan atas dasar kemauan bukan karena penghargaan ataupun pujaan. Kita sering disibukkan oleh mekanisme hidup yang terkadang membuat manusia selalu meragu, kalah, dan takut. Memang wajar, tak bisa disalahkan. Kalau semua berani, untuk apa diciptakan rasa takut?
Menangguhkan hidup atas suatu pencapaian atau impian akan membuat kemampuan mengambil keputusan terjajah. Tidak merdeka.
Ia — keputusan dan kesepakatan — akan hilang keutuhan sebagai suatu prinsip lalu terpecah belah oleh semua kepentingan. Keputusanmu akan ditemani logika dan visi visioner untuk selalu hidup bersama, namun keadilanmu sebagai manusia lebih memilih perasaan untuk bisa berdamai akan setiap kegagalan. Pikiranmu akan mencari cara bagaimana merasionalkan keputusan sedangkan hatimu akan mendeklarasikan kemerdekaan minat dan keahlian untuk bertahan hidup. Begitu terus akan berperang dan berperang hingga nanti kita sendiri yang menentukan.
Melihat hal ini membuat saya semakin bertanya-tanya akan siklus hidup.
Sebenarnya, apakah keputusan yang saya ambil sudah terarah sesuai dengan keinginan hati dan pikiran? atau salah satu diantara keduanya?
Apakah kehidupan berhasil hanya bisa dicapai bagi orang-orang yang bisa menganalisa dan berani memilih untuk mengambil keputusan?
Apakah memiliki ketakutan adalah sebuah bentuk kewajaran dalam menjalani hidup atau hanya kecacatan dalam berperilaku?
Saat aku menulis ini, umurku tergolong masih peralihan. Pemikiran masih belum ‘dewasa’ seperti pada umumnya. Namun, kesiapan untuk mengukir sesuatu yang ingin diraih mulai dibeli dan dilatih. Perihal bagaimana metode yang digunakan saya pun masih belum tahu, bahkan mengenali. Palembang dan Bandung mungkin menjadi saksi bagi diri bahwa nanti akan muncul pribadi yang dihargai akan karyanya nanti.
Keputusan untuk berkarier.
Keputusan untuk menikah.
Keputusan untuk berteman.
Keputusan untuk belajar.
Dan keputusan-keputusan lain yang — mungkin — akan kutemui esok hari.
Meragu untuk menerima dan merasa untuk diterima. Akan selalu melingkar begitu-begitu saja. Pasti kita tidak ingin masa muda hanya untuk dinikmati tanpa bisa menghasilkan dan juga memberi. Paling mudah untuk diri sendiri terlebih dahulu baru orang lain merasakan manfaatnya. Makin berjalan makin menjauh walaupun terkadang terdapat tanjakan dan kerikil tetapi setidaknya kita sudah belajar untuk mencoba melewati setiap rintangan yang ada.
Ketika harus dihadapkan akan suatu pilihan untuk memilih maka satu-satunya cara untuk mendapatkan keuntungan adalah dengan merasakan keputusan itu benar seutuhnya.
Tidak akan pernah salah jikalau kalian sudah memiliki pledoi untuk semua massa dan dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya.
Keputusan dan kesepakatan mungkin jikalau nanti kita bertemu. Dengan situasi dan kondisi yang harmonis, tanpa paksaan dan ancaman, saya ingin kita bersalaman untuk kemenangan yang ingin kita raih bersama. Ikuti arah kompas yang kugenggam, dengarkan perintah yang kuucapkan, dan bertahan hingga tujuan tercapai; kebahagiaan dan kepuasan.
Mochamad Fathur Hidayattullah
Palembang, 27 Januari 2021
16.03 WIB