Trisila Reformasi Manusia
Rasa pelampiasan berekspresi lama-kelamaan menyusut. Bukan karena bosan, melainkan ruang lingkup imajinasi terbatasi oleh suasana rumah dan suara ayam berkokok di pagi hari. Kreativitas mati dieksekusi oleh bunga tidur di siang hari. Kreativitas tumpul karena diasah hanya dengan kajian lampau yang sumbernya sudah anonim. Media pun seakan mendukung kondisi memprihatinkan dunia ini. Konspirasi atau realita; semua sama saja. Hanya berkutat memperdebatkan siapa yang benar dan salah. Padahal kala waktu berlangsung, korban jiwa semakin berhamburan di rumah sakit.
Sekarang berperilaku di rumah saja sudah jadi hal formal. Padahal dahulu bisa dihujat pengangguran dan pemalas. Rakyat sipil kok tidak peka reformasi kondisi negara. Sungguh piawai Tuhan memainkan kuasa-Nya. Kebiasaan diobrak-abrik tak berbekas dan tak pandang bulu. Mau kalian pejabat publik sampai tukang sayur pun semuanya berubah. Kita dituntut untuk berpikir dan berubah demi kemanusiaan dan lingkungan. Namun, sudah siapkah kita untuk berubah sekarang?
Gagasan bernama Trisila Reformasi Manusia saya hadirkan sebagai persembahan manusia sederhana yang mengamati lingkungan sekitar.
Pertama, Cara berpikir. Hal ini harus dirubah, diperbaiki, dan diperbarui secara teratur dan terstruktur. Satu hal yang harus ditekankan adalah kalian semua tidak harus memaksakan produktif. Produktif itu kebiasaan gaya hidup, bisa baik dan bisa buruk. Tergantung kalian memaknai proses dan hasilnya. Jadilah pribadi yang percaya akan tindakan kalian sendiri. Jangan mudah dipengaruhi dan jangan pula bimbang untuk melakukan. Khawatir adalah hal wajar tetapi jangan sampai menahan naluri berkarya.
Saat pandemi sekarang, berhentilah memperhatikan omongan orang. Lakukan apa yang kalian ingin lakukan. Berjualan di Instagram, Bermain Tiktok supaya dapat followers ataupun bersepeda mengelilingi pusat kota. Silakan. Asalkan hati senang dan bermanfaat hal itu sudah baik untuk jiwa dan raga kalian. Penat harus melihat berita kesehatan itu-itu saja dan kita tidak punya kapabilitas — secara pendidikan kesehatan — untuk membantu mereka. Tugas kita sekarang hanya patuh dan paham akan keadaan. Cara berpikir harus jernih, sehat, dan positif untuk membangun mental — megak nan kuat.
Kedua, Mandiri. Mau tidak mau dan suka tidak suka, kita harus melakukan ini. Lihat saja sekelilingmu. Kontak fisik sangat diharamkan. Berpergian ke pasar swalayan sekedar berjalan santai bersama keluarga pun harus ikuti protokol kesehatan. Inilah ujiannya sekarang. Kita harus menang. Kita harus rutin dan mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan cara kita masing-masing. Semua sektor terkena imbasnya seperti pendidikan, transportasi, ekonomi, politik hingga urusan rumah tangga. Bukan main penularannya dari manusia hingga tatanan hidup bermanusia.
Mandiri harus menjadi hobi baru, kebiasaan baru atau langkah baru untuk berevolusi sekarang. Mulai dari biasanya memesan makanan lewat aplikasi daring, sekarang harus bisa memasak makanan sendiri. Dari yang biasanya pembelajaran tatap muka di kelas bersama guru dan teman, sekarang belajar lewat aplikasi daring secara otodidak. Dari yang biasanya sholat jumat karena diajak teman, sekarang harus mandiri sholat di rumah untuk memenuhi kewajiban.
Jangan lakukan hal ini karena terpaksa, biasakanlah supaya tidak menjadi beban atau pun keluhan. Sekarang kita diuji untuk tidak selalu bergantung kepada orang lain, walaupun hal itu melawan kodrat kita sebagai manusia; makhluk sosial.
Ketiga, Adaptasi. Sadarkah kalian bahwa digitalisasi benar-benar merambah semua lini kehidupan. Urusan perkantoran dan rumah tangga. Urusan mobilisasi dan transaksi. Hingga urusan edukasi dan ekonomi. Semuanya sudah secara daring dan digital. Mungkin untuk sekarang hal ini adalah cara terbaik. Walaupun penyerapan ilmu nya mungkin berbeda bila secara luring. Namun, setidaknya usaha ini membuahkan hasil untuk sementara.
Perilaku ini menjabarkan bahwa kita harus mampu beradaptasi dengan apa yang terjadi. Kita belajar menerka mana kemungkinan yang optimal. Salah tidak apa-apa. Lah, nenek moyang kita sampai ke era sekarang juga karena kesalahan. Mereka belajar dan memperbarui. Kita bersikeras mencoba hal itu.
Tujuannya cuma satu; bertahan hidup.
Naluri kita bergerak dan berkembang dijembatani ilmu pengetahuan yang sudah jauh berkembang pesat. Tentu pasti akan dipermudah dalam teorinya. Namun, faktanya tidak demikian. Perihal vaksin untuk penyakit ini pun sampai sekarang masih dalam proses. Indikasi bahwa manusia selalu salah dalam keadaan pertama dan berprogres untuk keadaan selanjutnya.
Akhirnya,
Perubahan akan selalu terjadi. Memiliki 3 prinsip ini untuk kedepan akan memudahkan kita dalam menjalani proses evolusi sebagai manusia — sang pemimpin bumi. Bukan wabah pandemi saja musuh abadi umat manusia. Perang dan kelaparan adalah momok menakutkan setelah ini yang mungkin dapat terjadi. Kepedulian kita terhadap sesama dan gotong-royong untuk menciptakan suasana yang lebih baik harus menjadi prioritas setiap insan.
Saya pribadi berharap hal ini dapat menjadi pesan untuk kita semua bahwa hidup akan selalu berubah. Kita tidak dapat mengelak. Kadang baik, kadang juga buruk. Suka duka akan selalu dihadapi.
Harapannya kita sebagai manusia harus tetap paham bahwa hakikat kita hidup di dunia adalah bertahan hidup dan menciptakan kebudayaan.
Terakhir, manusia diciptakan Tuhan di dunia karena kita adalah petarung. Sudah selayaknya kita berjuang untuk anugerah kehidupan ini. Ujian akan selalu ada. Jangan lupa, kemudahan akan selalu tersyair jelas bagi kita yang bisa melewatinya.
Sekian.