Tentang Keikhlasan.

Fathur Hidayattullah
3 min readJan 12, 2021

--

Punclut, Bandung

Tahun 2020 menjadi suatu waktu niskala yang menghirupi setiap nafas kehidupan insan manusia. Pandemi menjadi salah satu akar terbesar dari keburukan tahun ini. Terlepas dari itu, menilisik setiap perasaan orang tentu memiliki kepuasan sendiri-sendiri. Begitupun aku dalam memaknai tahun ini.

Bangga, bahagia, kecewa, menyesal, kesal. Mungkin itu beberapa kata sifat yang berhasil mendeskripsikan hati dan pikiran saya. Setiap kejadian yang terjadi pada tahun kemarin membuat pembelajaran berharga bagi saya untuk menjadi sosok tangguh dan dewasa. Ingin bercerita kepada kalian semua disini, namun sepertinya saya belum mampu untuk melepaskan kenaifan dan kebodohan yang bisa disebarkan untuk menjadi sebuah pembelajaran. Mohon maaf.

Saya akan menceritakan kedua sisi dari pembelajaran tahun kemarin yang bisa membuat kalian sadar betapa pentingnya diri kalian sendiri. Saat berumur 19 tahun saya sadar bahwa hidup itu bukan hanya sekadar melangsungkan apa yang sudah ditakdirkan, tetapi lebih seperti berjuang untuk memanipulasi takdir menjadi lebih sesuai apa yang dirasa baik dan tepat bagi kita.

Bahagia hadir karena ekspetasi yang berhasil kita pertemukan dengan harapan dan keinginan

Kalimat diatas adalah salah satu ilmu yang saya temukan di tahun kemarin. Keberhasilan mempertemukan bahagia dan harapan itu membutuhkan pengorbanan waktu dan tenaga serta doa. Manusia itu cenderung bertahan di zona nyaman apabila sudah merasakan kebahagiaan. Padahal bisa jadi kebahagiaan yang dialami hanya bersifat semu. Itu yang menarik. Terkadang kita tidak dapat membedakan mana yang nyata dan semu, meskipun terkait kebahagiaan yang notabennya sesuatu yang mendasar bagi manusia.

Ekspetasi itu bisa membunuh jiwa manusia jikalau tidak dapat dipelihara dengan baik. Faktor lingkungan dan keluarga itu dapat menjadi momok terbesar dalam mempengaruhi ekspetasi. Sebab dari itu, sebagai insan yang memiliki kendali penuh terhadap dirinya sendiri, kita harus mampu mengendalikan ekspetasi. Mencoba mengalah dengan ekspetasi. Hal ini supaya pertemuan dengan bahagia dapat terwujud dan bersifat nyata.

Penyesalan selalu datang di waktu akhir, tetapi tidak menjadi hal yang terakhir

Bisa dibilang kekecewaan yang dirasakan pada tahun kemarin adalah perasaan kecewa terbesar yang pernah saya alami. Hal ini karena sudah berkaitan dengan hubungan dengan manusia, ikatan saling percaya, dan komitmen. Rutinitas yang seharusnya sudah menjadi kebiasaan, benar-benar hilang tak berbekas. Saat itu perasaan untuk menerima tidak pernah hadir dan tersentuh oleh saya.

Memang benar penyesalan selalu datang di waktu akhir. Rasa untuk menghakimi dan menghujat diri sendiri akan selalu timbul saat itu dan mulai membicarakan ‘kenapa aku harus hidup di dunia ini?’. Tidak berlebihan sebetulnya, saya sendiri masih bisa mewajarkan. Terpenting setelah itu adalah sadar bahwa hal itu tidak menjadi yang terakhir. Bukan berarti kalian ikut mati bersama penyesalan ataupun hancur bersama harapan sirna.

Merasa menyesal itu sikap paling ‘manusia’. Kalian bisa sadar dimana letak kesalahan dan memperbaiki kekurangan. Perihal bagaimana kedepan selanjutnya itu urusan Tuhan. Tugas kalian adalah merencanakan perasaan dan kehidupan duniawi yang kalian jalani. Satu hal lagi, terkadang mengeluh dan curhat kepada Tuhan lebih baik dan melegakan daripada dengan manusia.

Semua ruang dan waktu yang terjadi pada tahun 2020 melahirkan sebuah sikap bijaksana untuk menjadi seorang manusia, yaitu ikhlas.

Mendefinisikan ikhlas itu tidak mudah. Kalian sendiri pasti sudah sering mendengar dengan apa yang namanya itu ikhlas. Namun, tidak tahu aplikasi dan pemaknaan hal itu seutuhnya. Begitupun saya. Sampai sekarang saya pun masih belajar dan mencoba memahami serta mempraktekkannya.

Ikhlas adalah suatu manifestasi perasaan yang timbul untuk menetralisir kekecewaan yang dirasa sudah di luar kemampuan kita untuk dikendalikan. Kita mencoba meredakan semuanya. Mencoba berpura-pura bahagia sementara. Bertahan menahan kesedihan yang tertusuk mendalam.

Sesuatu mengenai keikhlasan tidak bisa dipelajari secara teori. Hanya bisa merasa hingga waktu menggantikannya dengan ilmu yang lebih baik daripada ikhlas. Saya pun tidak tahu apa. Apakah wajar kita merasakan bahagia dan kecewa tanpa belajar ikhlas lebih awal? Mungkin iya, mungkin tidak. Bergantung pada pribadi kalian masing-masing.

Saya berharap keikhlasan benar-benar bisa merasuki setiap perkataan dan perbuatan yang hadir dalam hidupku. Benar-benar bisa menjadi tameng yang kokoh dan kuat untuk diterpa berbagai godaan dan cobaan untuk merobohkan.

Kekuatanku hanya kepercayaan, berdoa dan berusaha.

Mochamad Fathur Hidayattullah

Palembang, 12 Januari 2021

10.46

--

--

No responses yet