Senja Kala Kebahagiaan

Fathur Hidayattullah
4 min readJun 17, 2024

--

Photo by KAL VISUALS on Unsplash

Tiga bulan terakhir banyak hal terjadi dalam hidup ini. Mengingatkan akan sesuatu yang sifatnya sementara dan tidak ada dampak apa-apa pada diri. Ketika itulah keberpihakan kepada ego semakin menguat sehingga titik kebahagiaan mulai hilang satu per satu.

Mengamati interaksi setiap manusia yang hadir dalam hidup ini dan akhirnya semakin sadar bahwa setiap manusia memiliki senja kala kebahagiaan mereka masing-masing.

Pembelajaran pertama berkaitan dengan bagaimana kita harus bisa memperkuat empati dalam setiap tindakan yang kita lakukan dengan orang lain. Karakter ini sebenernya sudah sering kita baca dan hafalkan dalam buku cetak pendidikan kewarganegaraan, tetapi implementasi konkret dalam kehidupan sehari-hari sangatlah sulit.

Empati tercipta hanya melalui keikhlasan manusia untuk bisa memahami perasaan orang lain, memberikan jalan untuk ego kita menjadi juara kedua dan menikmati — terkadang — sandiwara untuk membahagiakan hati lawan.

Kesadaran ini semakin memuncak saat saya mengerti bahwasanya selama ini saya sangat bergantung pada empati yang diberikan oleh orang-orang sekitar saya. Saya menjual empati diri supaya kepentingan yang diinginkan dapat tercapai. Namun, terlupa untuk membeli empati yang dijual oleh orang-orang sekitar.

Alhasil, kecenderungan untuk acuh dan menghilang menjadikan diri untuk terbiasa. Dampaknya, saya merasa tidak bahagia dan timbul perasaan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan mutlak untuk berinteraksi dengan saya.

Prasangka buruk ini semakin menguat karena kesombongan untuk mementingkan diri sendiri diatas segala-galanya.

Akhirnya, saya tersadar bahwa empati adalah bibit kebahagiaan bagi setiap manusia. Saat kita menanam empati, maka kita sebenernya sedang melakukan investasi jangka panjang untuk kebahagiaan dan peluang kesuksesan di masa depan.

Hal ini karena apapun yang kita berbuat akan menimbulkan bekas yang natural dan membuat manusia semakin ingat akan apa yang kita berbuat dengan perasaan ikhlas dan insaf.

Pembelajaran kedua berkaitan dengan kepercayaan. Saat kita dihadapkan pada dunia nyata dimana kesempatan datang silih berganti, maka sebenarnya kita sedang diuji akan karakter kepercayaan tersebut.

Kepercayaan menjadi sebuah nilai fundamental dalam kita berhubungan dengan manusia karena melalui hal tersebut — kepercayaan — kita mampu untuk berinteraksi antar sesama dengan berlandaskan emosional.

Sebenarnya kepercayaan bukan supaya kita bisa terlihat jujur atau hebat, tetapi lebih kearah bentuk naluri untuk membuat kita menjadi manusia berumur panjang secara mental dan pemikiran, bukan hanya sekedar angka.

Kelalaian saya menjadikan diri sebagai orang yang oportunis sehingga itu akan mematikan penilaian dan membunuh karakter di masa depan.

Saya teringat betul akan suatu pertanyaan yang diberikan oleh seseorang,

Jikalau Anda diberikan 3 hal yaitu:

(1) Ilmu pengetahuan yang tinggi dan luas.

(2) Karakter integritas dalam berkehidupan.

(3) Perasaan empati dan sosial yang humanis terhadap sesama manusia.

Pilihlah salah satu dari 3 hal tersebut yang kamu ingin hilangkan dan berikan alasannya!

Saat pertanyaan ini muncul, timbul berbagai macam dan asumsi yang saya coba lakukan untuk mencoba menjawab pertanyaan ini sesuai karakter yang saya miliki. Saya adalah tipikal orang yang sangat percaya bahwa ilmu pengetahuan yang tinggi akan mampu menghantarkan kita kepada kehidupan yang sejahtera.

Namun, saat dihadapkan pertanyaan tersebut, maka dengan berat hati saya memilih opsi pertama untuk dihilangkan. Alasannya adalah ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang mampu diupayakan dengan waktu yang relatif cepat jikalau dibersamai dengan komitmen dan disiplin.

Hal ini berbeda cerita apabila untuk opsi kedua dan ketiga. Kedua opsi tersebut berkaitan dengan prinsip yang bersifat keteguhan hati dan kemampuan melepaskan ego diri. Menurut hemat saya, kedua opsi tersebut membutuhkan waktu yang relatif lama dibandingkan opsi pertama dalam pembentukannya untuk menjadi karakter diri.

Entah apakah jawaban yang saya berikan itu benar atau salah, tetapi saya merasa sepenuhnya mampu mempertanggung jawabkan hal tersebut.

Pembelajaran ketiga berkaitan dengan hidup berlandaskan validasi. Ketika manusia hidup dengan sistem sosial yang kompleks, maka sebenarnya kita sedang berusaha untuk melakukan simplifikasi supaya sesuai dengan standar yang kita miliki sebagai manusia — makhluk sosial.

Validasi antar sesama manusia hanya membuat kasta sosial yang akhirnya membuat kebahagiaan semakin menjadi suram. Tidak hanya berkaitan dengan masalah karier dan materi, tetapi juga perihal kebahagiaan itu sendiri.

Ketakutan untuk memiliki visi atas dirinya sendiri seringkali menjadi sebuah masalah utama sehingga terjadinya penyakit mindset ini. Saya tentu pernah merasakan dan yang paling menyakitkan adalah saat kebahagiaan dan kesuksesan kita telah ikut dicampuradukkan dengan hal-hal yang kita sendiri tidak tahu.

Maka dari itu, fokus akan pembentukan jati diri dengan berlandaskan visi yang mampu dipertanggungjawabkan harus menjadi pondasi utama dalam hidup. Boleh dengan dasar keyakinan akan Tuhan ataupun kepercayan akan diri sendiri. Asalkan itu semua diyakini dengan sepenuh hati.

Saya sadar bahwa setiap manusia sebenernya memiliki potensi masalah masing-masing yang sumbernya hanya mereka yang tahu. Ketika mereka berusaha untuk membuat diri mereka tersenyum maka sebenernya kita tidak tahu seberapa besar beban yang mereka sedang pikul untuk hidupnya.

Jangan pernah meremehkan orang lain dalam konteks apapun dan hargai setiap keputusan yang mereka ambil yang konteksnya sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.

Akhir kata, ketiga pembelajaran tersebut berhasil menyimpulkan satu kata yang membuat saya akhirnya selalu melakukan ini setiap pagi, yaitu:

Bersyukur.

Bersyukur atas segala sesuatu yang telah kita peroleh, sedang kita peroleh dan akan kita peroleh di kemudian hari.

Bersyukur karena mampu menjadi lebih baik setiap hari walaupun hanya berprogres satu persen.

Bersyukur karena masih diberikan kenikmatan akan hal-hal yang mungkin orang lain bersusah payah mendapatkannya.

Inilah ilmu baru yang sedang saya gunakan untuk membuat hidup jauh lebih baik dan bermakna. Tentunya, hal ini mampu mengusap yang tadinya berupa senja kala kebahagiaan menjadi matahari kebahagiaan.

Mochamad Fathur Hidayattullah

Jakarta, 17 Juni 2024

09.32 WIB

--

--