Runtuhnya Nalar Kultural
Jutaan tahun yang lalu setiap manusia menggunakan akal untuk dapat menciptakan suatu peradaban modern — yang kita rasakan sekarang. Akal selalu berkembang mengikuti era dimana setiap individu yang hidup dan lahir dalam suatu komunitas yang ia tinggal. Perkembangan akal ini akan menciptakan suatu fenomena yang sejatinya merupakan revolusi sukses bagi peradaban itu sendiri — umat manusia. Seringkali kekhawatiran akan manusia untuk bisa melakukan akselerasi terhadap akal karena takut akan ketidakmampuan manusia untuk mempergunakan akal itu sendiri untuk kehidupan sehari-hari.
Paradoks ke-akal-an yang lambat laun terpecahkan dengan sendirinya.
Pavel Gregoric dalam buku yang berjudul Aristotle on the Common Sense (2007) menyatakan bahwa Aristoteles berkata akal adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan penalaran dalam memahami dunia dan mengambil keputusan yang rasional. Akal merujuk pada kemampuan manusia untuk berpikir, merenung, dan menggunakan pengetahuan serta pengalaman dalam membuat keputusan dan menyelesaikan masalah.
Akal mencakup aspek rasionalitas, kemampuan untuk memahami hubungan sebab-akibat, mengambil keputusan berdasarkan informasi yang ada, dan mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan yang diambil. Akal dapat melibatkan proses kognitif yang kompleks, seperti pemikiran abstrak, pemecahan masalah, dan penalaran logis.
Konsep akal ini merupakan konsep umum nan luas yang membedakan antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Jalannya akal selalu beringiringan dengan bagaimana akal mampu menghidupkan nalar dalam setiap proses berpikir yang dimiliki oleh setiap manusia. Nalar inilah yang nantinya menjadi sebuah bumbu masakan yang akan menciptakan suatu makanan yang lezat — sebuah mahakarya manusia.
Filsuf Inggris, John Stuart Mill dalam buku yang berjudul A System of Logic, Ratiocinative and Inductive (1843) menyampaikan bahwa nalar adalah kemampuan untuk mengenali hubungan logis antara premis-premis dan mencapai kesimpulan yang valid melalui penalaran deduktif atau induktif.
Nalar lebih fokus pada proses berpikir yang didasarkan pada logika dan argumentasi. Nalar melibatkan kemampuan untuk menganalisis informasi, mengevaluasi argumen, mengidentifikasi pola atau hubungan logis, dan mencapai kesimpulan yang masuk akal berdasarkan premis atau fakta yang ada. Nalar biasanya melibatkan penalaran deduktif dan induktif serta kemampuan untuk mengenali pola dan membuat generalisasi berdasarkan bukti yang ada.
Perbedaan utama antara akal dan nalar adalah bahwa akal merujuk pada kemampuan berpikir secara umum, termasuk pemikiran rasional dan kemampuan untuk membuat keputusan, sedangkan nalar lebih mengacu pada proses berpikir yang berfokus pada logika, penalaran, dan evaluasi argumen.
Secara ringkas, akal lebih bersifat umum dan mencakup kemampuan berpikir secara luas, sementara nalar lebih terfokus pada penggunaan logika dan penalaran dalam memahami dan mengevaluasi informasi.
Demokratisasi informasi sudah berkembang pesat. Setiap orang mampu menyebarkan informasi, mampu melakukan penilaian terhadap hal itu dan memberikan pernyataan sikap atas yang terjadi dalam dunia baru ini yang besar karena globalisasi. Entah mengapa saya merasa kemampuan bernalar adalah komponen wajib yang harus diberdayakan oleh manusia untuk mampu menghadapi setiap permasalahan pada era disrupsi ini.
Terkadang nalar yang menjembatani akan hubungan kausalitas yang terjadi pada setiap permasalahan yang kompleks harus dibenturkan dengan sebuah dogma dan paradigma yang hidup secara kultural.
Sebenarnya tidak salah bahwa budaya ketimuran yang memang lebih mengedepankan akan konteks kultural untuk bisa diterapkan pada setiap lini kehidupan dijadikan sebagai sebuah — kadang-kadang — pandangan hidup. Namun semua hal tersebut akan bisa berdampak dan berguna bagi dirinya sendiri ataupun untuk orang sekitar, jikalau ia memahami konteks akan penggunaan nalar kultural tersebut. Memahami bagaimana batas yang diberikan dan memahami pada waktu kapan untuk melangkah maju.
Nalar kultural artinya kemampuan berlogika untuk mengelola informasi yang dilandasai akan suatu keyakinan yang sepenuhnya — dianggap — benar.
Timbulnya keyakinan tersebut disebabkan oleh banyak faktor seperti doktrin yang berkepanjangan, keimanan suatu tujuan hidup, kekhawatiran akan penyelesaian masalah yang belum tentu dapat diselesaikan dengan solusi baru dan sebagainya. Hal-hal diatas bisa saya bilang beberapa hal yang menyebabkan tumbuhnya nalar kultural secara subur.
Ketakutan mengenai langgengnya nalar kultural ini adalah mematikan konsep manusia sebagai makhluk merdeka. Nalar kultural akan berusaha untuk mengakuisisi segala bentuk kekayaan intelektual yang dimiliki oleh setiap manusia sehingga proses berpikir yang timbul hanya berkutat pada lingkaran yang sama secara terus menerus.
Menurut saya, hal ini bukanlah sebuah esensi bagi manusia yang selalu hidup bersosialisasi dan berpolitik yang merupakan ciri dari manusia merdeka.
Kondisi sekarang yang memaksa manusia untuk selalu mencari sesuatu yang baru dan menerjemahkan setiap informasi yang masuk dalam otak membuat nalar kultural akan menjadi parasit yang akan menggerogoti perubahan manusia menjadi manusia modern — mampu beradaptasi dengan teknologi.
Skenario-skenario yang lahir dalam bernegarapun akhirnya menjadi sia-sia karena selalu diserang dengan hal yang namanya politik identitas dan populisme yang mengarah kepada otoritarian. Hal ini tidaklah diingikan bagi negara sekelas Indonesia yang saya yakin mampu untuk mengaktualisasikan dari Bonus Demografi-nya pada tahun 2045.
Adam Grant dalam bukunya yang berjudul Think Again (2021) berkata bahwa manusia harus mampu untuk mempertanyakan keyakinan mereka, membuka pikiran mereka untuk perspektif baru, dan mengembangkan kembali pendekatan mereka terhadap pemikiran dan pengambilan keputusan.
Kontekstualisasi dalam hal bernalar berarti harus menggunakan pendekatan berpikir ulang dan fleksibilitas pikiran.
Sering kali kita terlalu melekat pada keyakinan kita sendiri, yang dapat menghalangi perkembangan dan kemajuan pribadi dan profesional kita. Manusia harus mendorong nalarnya untuk menjadi lebih terbuka terhadap pemikiran baru, mempertanyakan keyakinan yang mapan dan menggali informasi baru sebelum mengambil keputusan untuk menyelesaikan suatu masalah.
Nalar juga harus mampu menciptakan sebuah fleksibilitas pikiran dalam menghadapi perubahan dan tantangan. Manusia harus mampu menjadi seorang ‘pemikir penggugat’ yang aktif mencari informasi baru, menggali pandangan yang berebda dan melibatkan diri dalam dialog yang konstruktif. Dengan berhasil untuk mempertanyakan keyakinan yang ada dan menggali alternatif, maka kita dapat mengembangkan pemikiran yang lebih terbuka dan solusi yang lebih inovatif.
Jika kita berusaha untuk melawan nalar kultural maka pendekatan nalar yang paling tepat digunakan yaitu Realita Bernalar (The Reasoned Reality).
Realita Bernalar adalah konsep bernalar yang mengedepankan akan keadaan masa kini sehingga pertimbangan hubungan sebab akibat yang lahir harus berlandaskan akan karakter massa-nya, baik buruknya masa depan dan menghilangkan budaya kultural yang tak berdasar.
The Reasoned Reality adalah gagasan bernalar yang saya coba utarakan kepada kalian — para pembaca — secara non akademis — murni opini pribadi — mengenai sebaiknya harus melangkah seperti apa dalam menyikapi keadaan dan melakukan aksi.
Realita Bernalar pada dasarnya hanya gagasan sederhan yang mendorong setiap manusia untuk bisa mengoptimalkan kemampuan bernalarnya tetapi dibentengi dengan hal-hal yang sifatnya pembaharuan dan meninjau ke akar atas kondisi masa kini untuk menghadapi masa depan.
Saya merasa bahwa gagasan ini akan mampu mengeluarkan manusia dari hal yang namanya nalar kultural — yang menurut saya — tidak layak digunakan lagi di era sekarang. Realita bernalar seharusnya mampu untuk mengalahkan pemikiran-pemikiran yang membuat manusia terpaksa melakukan sesuatu tanpa alasan karena ia — Realita bernalar — mengedepankan akan hal yang namanya ‘berpikir ulang’.
Sederhananya adalah manusia harus tetap menjadi manusia merdeka seutuhnya dengan dia mampu menggunakan kemampuan bernalarnya untuk menghadapi masa kini dan tantangan masa depan tanpa berkutat akan teori masa lalu. Masa lalu tetap harus dipelajari khazanah sejarahnya tetapi bukan berarti selalu menjadi doktrin mati akan setiap langkah yang diambil oleh suatu individu.
Saya percaya bahwa nalar kultural hanya sebuah fase dalam setiap hidup manusia yang dialami karena ketidakberdayaan manusia untuk memikirkan kembali akan realita yang ada dan ketakutan akan hidup yang sengsara di masa depan.
Menurut saya, hal itu merupakan bentuk kewajaran karena memang manusia diciptakan tidak untuk memprediksi masa depan yang ia jalani. Tetapi, untuk menguasai setiap elemen yang mereka miliki sendiri untuk membangun peradaban yang cocok untuk manusia saat itu tinggal sesuai dengan waktunya masing-masing.
Jikalau saya ditunjuk menjadi seorang nabi di muka bumi ini dan mampu membuat sebuah nubuat maka saya mengharapkan:
“Runtuhnya Nalar Kultural dalam setiap akal sehat manusia sehingga akan terbangun Realita Bernalar yang kekal untuk umat manusia”
Daftar Pustaka
Gregoric, Pavel. Aristotle on the Common Sense. Oxford Aristotle Studies Series (Oxford, 2007)
Mill, John Stuart. ‘A System of Logic, Ratiocinative and Inductive (1843). Cambridge University Press. (Cambridge, 2011)
Grant, A. (2021). Think again: the power of knowing what you don’t know. [New York, New York], Viking, an imprint of Penguin Random House LLC.
Mochamad Fathur Hidayattullah
Bandung, 10 Juli 2023
22.00 WIB