Reuni Keluarga
Pada akhirnya semua ini akan kembali kepada sesuatu yang membuat kita tenang dan hangat. Angkuh dan nir-empati sudah merasuki hati ini sampai terlupa kepada siapa saya diajarkan mengenai ilmu pengetahuan dan kasih sayang. Berita kesedihan ini berhasil menampar ego dan membuat tunduk pemikiran. Campur aduk perasaan hati sambil berpikir jahatnya nyawa ini baru bergerak disaat momen tercipta, bukan saat kerinduan yang muncul.
Persetan dengan seluruh kerja keras yang kita lakukan untuk meraih cita-cita yang kita agungkan itu, tetapi waktu dan pertemuan tidak bisa diganti. Saya berusaha mengalahkan ego dan menyadarkan diri sendiri dengan cara apapun bahwa hidupmu tidak selamanya bergantung akan materi. Hidupmu tidak selamanya mengukir posisi dan tidak selamanya memuja harga diri. Maknai dan resapi akan setiap waktu yang sedang berjalan ini.
Pertemuan di kampung halaman dengan seluruh keluarga membuat kondisi insaf terlahir, bahwa seberapa buruk kondisi dan perbuatanmu maka keluargamulah yang akan selalu menjadi garda terdepan membantu.
Pemahaman ini sepertinya sudah lama terkubur karena kesibukan diri merantau dan mencoba menggali potensi untuk dapat menciptakan eksistensi. Terlupa akan pembelajaran hidup paling utama yang diciptakan oleh orang-orang terdekat kita membuat saya merasa malu dan bodoh.
Kedatangan memang selalu berhasil gelak bahagia bersembunyi dibalik memori-memori kesedihan. Kesempurnaan coba untuk berjalan melewati seluruh memori tersebut sehingga dapat membangun kekuatan. Apadaya manusia adalah makhluk lemah, lekas air turun membasahi baju yang dikenakan dan suara melemah tak berirama.
Kurang lebih sekitar satu tahun lebih saya tidak bertemu dengan keluarga. Ketika momen tercipta, barulah saya berusaha hadir menemani ibunda. Saya sadar betul bahwa kemerdekaan menjadi perantauan membuat diri menutup komunikasi langsung kepada keluarga. Kecewa dan salah adalah dua kata yang cukup tepat mendefinisikan perasaan saya saat ini.
Jumat dan Juli adalah derajat waktu yang berhasil menemani perasaan ini — sendirian. Bagaimanapun langkah kaki dan semangat hidup tidak boleh berhenti. Penebusan dosa berusaha dilakukan dengan menciptakan siasat kehangatan melalui interaksi fisik-rasa bernama Reuni Keluarga.
Momen ini berhasil membuka obrolan-obrolan sederhana namun cukup menghibur diri selama menjalani kewajiban pendidikan. Kekuasaan, cinta, harapan, materi dan kematian adalah topik yang diperdebatkan dengan serius nan jenaka. Kami menikmati sekali percakapan dengan setiap kata yang keluar dari masing-masing individu dan hanya kami yang mengerti betapa bahagianya keadaan yang terjadi saat itu.
Kesadaran diri memuncak bahwa kekuatan keluarga mampu meruntuhkan segala ketakutan dan keraguan akan tujuan hidup yang direncanakan. Ia — kekuatan keluarga — mampu menyingkirkan realita dunia yang — mungkin — merusak motivasi dan kerja keras kita. Perasaan ini percaya bahwa satu-satunya alasan untuk membuat saya harus hidup menjadi ‘manusia sukses’ — menurut parameter sendiri — adalah keluarga.
Keluarga adalah suatu kata bantu untuk mendefinisikan hubungan terikat antarmanusia yang saling mengasihi dan rela berkorban satu sama lain. Tidak hanya terikat darah, tetapi juga dapat berupa ideologi, lembaga dan hubungan sosial. Kepercayaan tulus dan prasangka baik adalah modal utama untuk menguatkan legitimasi terhadap definisi keluarga. Maka, intuisi seringkali bermain dalam memberikan label tersebut.
Disini saya belajar banyak mengenai arti keluarga itu sendiri. Memang betul bahwa setiap sebuah pernyataan akan teruji validasinya jika berhadapan langsung dengan permasalahan dari pernyataan tersebut. Persis terjadi dengan yang saya alami sekarang. Sebuah momen pembelajaran bagi saya untuk dimaknai kedepan harus seperti apa.
Momen kedua yang saya berhasil coba maknai disini adalah kesehatan dan waktu. Jaga diri selalu baik-baik dan berikan waktu sebuah nafas untuk menjadikan ia berarti. Rezeki paling hebat adalah saat kesehatan kita diberkahi secara sempurna. Namun memang tidak mudah menjaga hal tersebut dengan segala macam godaan duniawi sekarang. Syahwat harus ditekan perlahan demi panjang umur melihat anak dan cucu nanti.
Hakikat waktu sejatinya adalah sebuah ukuran atas setiap interaksi yang terjadi dari manusia ke manusia lain. Mengikat dan merekah berdasarkan teori fisika dan terkadang emosional tetiba.
Pemaknaan akan waktu benar-benar harus perlahan. Ia terkadang termanifestasi akan keadaan yang kita sendiri tak tahu apa artinya. Namun yang jelas itu waktu berusaha menyesuaikan dari siapa individunya dan bagaimana individu tersebut bergerak menghargainya. Saya merasa belum sepenuhnya mencintai waktu dengan tekad yang romantis, terkhususnya kepada keluarga saya. Masih terlalu sombong akan filsafat waktu yang dibangun oleh pemikiran sendiri. Terlalu naif memang.
Reuni Keluarga adalah pertemuan tak direncanakan dikala waktu yang disengaja. Percakapan lahir secara organik dan waktu menikmati setiap suara yang mengalir. Mata menciptakan harapan dan hati mengeluarkan kehangatan.
Pembelajaran hidup atas terjadinya Reuni Keluarga adalah hanya satu dan satu-satunya motivasi intrinsik yang kekal untuk selalu terpacu dalam ciptakan peradaban. Percayalah, ia — keluarga — tidak akan pernah kalah oleh hal apapun dan siapapun karena naluri yang hinggap sudah mengakar untuk berusaha membentuk kebermanfaatan. Kali ini hanya menunggu bagaimana manusia berusaha merealisasikan kekuatan itu secara nyata.
Manfaatkan waktu sebaik dan sebanyak mungkin untuk mereka. Relungkan dalam setiap pemikiran cita-cita kita.
Reuni Keluarga,
Semoga Tuhan memberikan takdir baik atas segala doa yang kita haturkan kepada-Nya.
Mochamad Fathur Hidayattullah
Sabtu, 29 Juli 2023
08.50 WIB