Realitas Maha Esa

Fathur Hidayattullah
4 min readSep 3, 2021

--

Photo by Delfina Iacub on Unsplash

Memilih adalah kebebasan yang dimiliki oleh setiap manusia. Kebebasan yang terbentuk dan terpatri dalam akar pikiran dan dimensi perilaku. Berangkat akan hal tersebut, kita sering memetakan sesuatu yang diluar batas atas apa yang seharusnya diterima. Menerka masa depan dengan segala isyarat dan peluang melalui ilmu sains. Bahkan terkadang mengandalkan penalaran yang mungkin masih cacat dalam penafsirannya atau bias dalam pengambilan kesimpulannya.

Menentukan suatu pilihan mereflesikan atas apa yang sedang kita pikirkan, apa yang sedang kita perjuangkan, dan apa yang sedang kita resahkan. Dialog yang timbul tidak hanya melalui interaksi luar antara dua pihak saja, tetapi melibatkan pertikaian dalam diri untuk mencari tahu siapa yang benar dan salah. Siapa yang paling terbaik dan siapa yang paling membahagiakan. Kesadaran untuk memilih hadir akan menciptakan kebebasan yang dipilih.

Hidup itu seperti berpetualang melewati hutan dan membelah gunung. Begitu dinamis dan terkadang mengandalkan emosi dan perasaan.

Begitupula peranan dalam menghadapi segala macam bentuk realitas yang terjadi pada hidup. Sering kali kita berpikir bahwa kenyataan yang kita inginkan akan menjadi suatu hal konkret berdasarkan validasi orang lain atau bahkan kita yang memvalidasi sendiri. Kebodohan untuk bisa memiliki memang membutakan cara bernalar yang baik dan sehat. Kejujuran untuk menilai pribadi harus sirna perlahan-lahan karena ego masing-masing.

Realitas dan Ekspektasi

Realitas adalah sebuah kenyataan.

Ekspektasi adalah sebuah pengharapan.

Kedua terminologi ini terkadang saling bercampur padu saling membunuh dan menghakimi tiap pemaknaannya masing-masing.

Bukan salah mereka, hanya keserakahan manusia untuk bisa memiliki sesuatu tanpa mempersiapkan diri sendiri.

Ekspektasi sebenarnya adalah ego sektoral yang dimiliki tiap ‘manusia’ dengan pemilik kekuasaan tertinggi adalah Dia. Kita berusaha untuk mengakali jalannya semua takdir atas nama perbuatan-perbuatan baik. Menjual ekspektasi untuk bisa bertahan dalam setiap kegagalan dan kekalahan. Polemik seperti hanya memunculkan perasaan carut marut dalam diri, menghardik takdir, dan persekusi atas kekurangan kita.

Mental berlindung dibalik pengharapan akan menjadikan kita tidak berkembang dan tidak tumbuh. Tidak bergerak maju atas setiap perubahan dan cenderung untuk bertahan akan posisi yang telah ditempati. Media apapun ditolak dan dihempaskan karena dinilai tidak menghargai kita yang katanya sedang tersakiti. Seolah-olah mengilhami bahwa aku mati karena kecelakaan bukan atas kelalaian pribadi. Padahal sebenarnya keselamatan utama yang mengatur adalah tangan dan kakimu sendiri.

Beralih ke realitas. Realitas adalah sesuatu yang tidak dapat kita campuri urusannya. Sesuatu yang situasi dan kondisinya bisa membahagiakan atau menyedihkan. Sesuatu yang bisa membenarkan atau menyalahkan. Sesuatu yang bisa menguntungkan atau merugikan. Sesuatu yang bisa diterima atau ditolak. Realitas bukan berarti tidak dapat dibatasi oleh kita. Manusia tetap dapat berusaha untuk mencari tahu dan mempersiapkan eksekusinya.

Jawaban pastinya adalah realitas merupakan sesuatu yang muncul karena kita sudah bisa untuk menerima dan mengikhlaskan atas segala hal yang terjadi di masa depan. Realitas akan berteman bahkan menjadi sahabat jikalau kita pun dapat memahami atas alasan kenapa ia harus hadir dalam pilihan hidup.

Lalu, pertanyaannya adalah mengapa semua hal ini perlu dibedakan?

Mengapa realitas dan ekspektasi harus dibagi menjadi dua hal seperti ini?

Atas dasar apa kita harus dapat membedakan kedua konteks yang membingungkan ini.

Saya menelaah dan memikirkan kenapa manusia harus mempelajari hal-hal seperti ini. Kesimpulan atas apa yang menjadi pemikiran dalam benak saya adalah mereka — realitas dan ekspektasi — hadir untuk membuat tiap-tiap manusia berkembang dan berubah ke arah yang lebih baik atas kepuasan logika yang dialami sendiri.

Realitas merupakan jawaban terbaik dan ekspektasi adalah jawaban atas dasar pribadi. Kesenjangan akan selalu muncul dalam terminologinya, namun yang perlu ditekankan adalah bagaimana kita bisa untuk meminimalisir kesenjangan tersebut. Bagaimana kita menekan ekspektasi dan menerima realitas dengan percaya diri dan berani. Sesuatu yang sedang kita alami baik itu suka atau duka merupakan sudut pandangan subjektif kita masing-masing.

Akan selalu ada kebiasan untuk mencari alasan dan dalam merasionalkan atas hal-hal yang terjadi. Maka, yang terpenting sebenarnya adalah melihat semua hal tersebut dengan sudut pandang yang lebih luas dan mengedepankan rasionalitas untuk kemajuan karakter dan impian.

Realitas Maha Esa

Realitas itu Maha Esa.

Realitas itu kenyataan yang tunggal nan utuh.

Realitas tidak dapat disamakan dengan pengharapan dan pengharapan pun tidak dapat menjawab akan semua realitas.

Ketunggalan itu seharusnya menyadarkan manusia bahwa realitas akan selalu tetap menjadi ‘realitas’ tergantung bagaimana kita melihatnya.

Ekspektasi yang dikonsepkan dan diusahakan secara matang, dipercayai dan dicintai dengan ketulusan, dan dihargai akan hasilnya merupakan realitas.

Jikalau kita bahagia dan ikhlas untuk bisa menerima itu maka dia — ekspektasi — menjadi realitas.

Semoga semesta menikahkan realitas dan ekspektasi sesuai dengan janji suci yang kita yakini masing-masing.

Sekian.

Mochamad Fathur Hidayattullah

Palembang, 03 September 2021

11.10 WIB

--

--

No responses yet