Pusat Intelektual Kampus
Pergerakan pemikiran manusia tidak akan pernah berhenti meskipun distraksi akan kebudayaan dan ideologi dalam bermasyarakat semakin berkembang. Pemikiran ini berevolusi menjadi sebuah dogma yang bernama intelektual sebagai bentuk kemampuan untuk mengolah pikiran dan aksi secara nyata terhadap suatu permasalahan.
Setiap era dalam sejarah yang pernah tercatat akan selalu memerlukan sebuah peran aktor intelektual dalam menggapai suatu cita-cita, baik itu revolusi maupun kemenangan kelompok. Peran yang mengedepankan intelektual sebenarnya permainan lama yang terkadang kita lupa atau bahkan tidak tahu karena ‘hebatnya’ dia bermain peran dalam ke-intelektualan-nya itu.
Menariknya, semakin membuat saya bertanya-tanya bagaimana bisa intelektual yang tumbuh dengan coraknya masing-masing itu bisa tidak saling membunuh satu sama lain meskipun kita — manusia — punya ego yang kuat untuk bertahan akan pilihan?
Pertanyaan itu sebenarnya hanyalah pemantik akan lahirnya tulisan ini.
Jikalau melihat dari lahirnya kebebasan dalam Revolusi Perancis, maka lenyapnya doktrin gereja katolik disebabkan oleh lahirnya pemikiran yang timbul karena intelektual yang berkembang yaitu liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Pemikiran itu berhasil merasuki setiap masyarakat Perancis saat itu hingga memunculkan gejolak revolusi untuk membebaskan mereka dari yang rasakan dan yakini tidak benar.
Jikalau kita lihat juga dari lahirnya sebuah reformasi di negeri ini yaitu karena hidupnya peran kepentingan intelektual baik dari kelompok tertentu, mahasiswa dan masyarakat yang berusaha untuk menggulingkan rezim otoriter. Intelektual disini berkembang secara pesat sehingga mencuci otak setiap manusia Indonesia khususnya para pemuda untuk mencitrakan suatu aksi reformasi dalam penolakan kekuasaan.
Peran intelektual sebenarnya secara tidak langsung hadir untuk bisa menyatukan pandangan dari perbedaan yang didasari atas norma, kebudayaan, ideologi dan kepentingan. Kemampuan intelektual berusaha untuk melakukan akselarasi akan ide atau gagasan yang baru sehingga kekuatan dari ide atau gagasan tersebut mampu menciptakan suatu aksi nyata yang berdampak dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar.
Hakikat Intelektual dan Berintelektual
Intelektual adalah ketika akal dan ilmu pengetahuan berhasil untuk diselaraskan sehingga menciptakan suatu kesadaran dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Pada dasarnya syarat timbulnya intelektual adalah hadirnya akal, ilmu pengetahuan dan dialektika yang terjadi diantara keduanya.
Akal akan membentuk suatu norma sebagai bentuk batasan dalam memerintahkan akal dalam ber-manusia umumnya, ber-masyarakat khususnya. Norma lahir sebagai bentuk evolusi dari akal yang mengalami akulturasi dari sekitarnya. Akulturasi ini dikendalikan oleh budaya sebagai kebiasaan yang menghidupkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan mencari tahu alasan kenapa bisa terjadi hal-hal disekitarnya.
Ilmu pengetahuan adalah motor penggerak akan kemajuan dalam berpikir yang runtut dan terpadu. Ilmu pengetahuan akan memantik lahirnya kerasionalan dalam mengambil suatu langkah sehingga tujuan akhirnya menjadi suatu kebebasan.
Menurut saya, kebebasan adalah bentuk pengilhaman paling tinggi yang mampu diraih oleh manusia. Disaat dia merasa bebas maka dia berhasil memerdekakan semua hal yang tidak se-visi dengan tujuan hidupnya. Hal ini sangatlah sulit karena terkadang manusia memiliki ego sendiri yang kadarnya tidak tahu seberapa besar dan seberapa lama habisnya
Kedua modal itu akan mengalami keterikatan yang pada akhirnya menciptakan perpaduan dalam sebuah proses dialektika. Setiap modal dapat berperan sebagai tesis yang berupaya mengedepankan hak dan kewajibannya sebagai manusia, dan modal yang lain bertindak sebagai anti-tesis yang berupaya menggagalkan hak dan kewajiban itu melalui pertimbangan kepentingan pihak lain.
Maka, terjadi sebuah proses saling menguatkan dan melengkapi hingga menghasilkan sebuah kesimpulan yang diberi nama sintesis — dalam terminologinya.
Proses dialektika ini akan selalu berevolusi secara terus menerus hingga mencapai suatu titik dimana kemampuan dialektika sudah menjadi sebuah kebiasaan dan wawasan dalam bertindak serta mengambil keputusan.
Hal itulah yang kuberi nama sebagai Intelektual dan proses seluruhnya disebut Berintelektual.
Pusat Intelektual Kampus
Tiba saatnya kita menjelaskan mengenai judul dari tulisan ini.
Ide menulis ini saya dapatkan berbincang-bincang dengan salah satu senior di kampus. Beliau menyampaikan bahwa pada dasarnya pergerakan kemahasiswaan di dalam ranah kampus selama masa pandemi akan mengalami kesulitan dalam mencapai sebuah ‘gebrakan’ atau inovasi dalam menyampaikan suara dari pergerakan kemahasiswaan tersebut.
Premis: pandemi membuat interaksi semakin terbatas sehingga proses munculnya ide dan gagasan tidak akan mampu berkembang selayaknya masa luring. Interaksi semakin diperparah dengan ekosistem ide dan gagasan yang tidak terawat karena hanya diisi oleh suara dan mata secara virtual. Kehikmatan fisik dan mental tidak mampu diraih secara baik pada proses daring.
Selain pandemi, jam malam dalam kehidupan kampus menjadi salah satu parameter yang membuat munculnya orang-orang intelektual menjadi memudar. Hal ini karena pemangkasan waktu dalam berinteraksi berarti sama saja kita memotong ide dan gagasan yang sedang terdistribusi secara merata melalui suara, tatapan, etika dan emosi saat melaksanakan interaksi antarindividu atau antarkomunitas.
Intinya, dalam menciptakan sebuah gebrakan yang besar dan kuat bagi pergerakan mahasiswa, maka jangan pernah batasi mereka dalam mengadu ide dan gagasan yang berdasarkan atas logika dan keidealan. Saat hal itu dibatasi dengan sebuah kebijakan maka tidak akan pernah tumbuh dengan baik sebuah gagasan yang matang untuk menciptakan perubahan.
Lahirnya ide dan gagasan itu sederhananya dalam sebuah perkumpulan yang memang mengedepankan kemerdekaan dalam bersuara. Saat hak-hak mereka diberikan secara penuh maka kita baru saja membuka pintu gerbang kekuatan untuk menciptakan perubahan.
Maka dari itu, asumsi yang ditawarkan disini adalah sebuah perkumpulan pada dasarnya harus memang tetap lahir secara naluri dan organik yang tujuannya untuk menyehatkan lingkungan sekitarnya. Perkumpulan akan menjadi katalisator bagi ide dan gagasan untuk bisa bertemu dengan yang lainnya dan mengalami proses dialektika. Baru darisana mereka akan melahirkan sosok-sosok intelektual yang berani, kritis dan peka terhadap suatu hal disekitarnya.
Penutup
Pusat intelektual kampus akan selalu hadir bagi kita — mahasiswa — dan lingkungan dimana kita memenuhi kewajiban — kampus — berani menghidupkan kembali forum-forum diskusi dan kajian-kajian liar dalam lingkupnya dengan semangat kemerdekaan dan keidealan.
Hal itu baru dapat terjadi jikalau aktivitas kemahasiswaan dihidupkan kembali.
Dengan begini, dapat kusimpulkan bahwa pusat intelektual kampus berada pada tempat dimana perkumpulan orang saling berinteraksi dan berdiskusi serta peduli dalam perkembangan dimana tempat mereka tinggal. Baik itu lingkungan kampusnya, lingkungan himpunannya, lingkungan pertemanannya atau lingkungan masyarakatnya.
Hal yang terpenting yaitu mereka tidak diberikan batasan dalam berpikir dan berorientasi pada ketulusan dalam memajukan lingkungannya sendiri.
Mochamad Fathur Hidayattullah
Tanjung Enim, 15 Juni 2022
14.14 WIB