Naluri Berpikir dan Memilih
Kali ini waktu benar-benar sedang menjadi sahabat dekat saya. Walaupun ditengah kesibukan melaksanakan tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa untuk kerja praktik, saya masih bisa menuangkan seluruh alam pikirin untuk menghasilkan buah karya sekarang — tulisan ini.
Mukadimah tulisan ini akan dibuka dengan pengalaman pribadi saya sendiri. Saya merasa bahwa sebenarnya satu-satunya hal yang mampu dikuasai penuh secara sadar oleh manusia adalah kemampuan ia untuk berpikir.
Benar, berpikir. Terdengar mungkin sederhana, namun apabila dieksploitasi dengan tepat maka dapat menghasilkan mahakarya dan menjadi merdeka.
Hipotesis diatas berangkat dari sesuatu yang mampu mampu mempengaruhi manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu yang dapat dikontrol oleh manusia dan yang tidak. Pada era sekarang yang memiliki kekuatan disrupsi informasi yang masif, manusia sangat susah membedakan apa yang bisa mereka kontrol dan tidak. Hal ini karena terjadi suatu bias dan kecacatan dalam kemampuan menjernihkan untuk berpikir suatu manusia.
Penilaian secara objektif dan subjektif sudah terlampu kabur, tertutup oleh informasi-informasi yang bersatu menjadi sebuah opini publik. Manakala hal itu sudah terlampu konsisten dengan bantuan perangkat media dan kekuasaan, maka dipastikan manusia pasti akan berhasil dipropagandakan oleh suatu isu yang kebenarannya hanya diketahui bagi mereka yang berpikir.
Melalui premis diatas, saya ingin beranggapan bahwa manusia harus mampu mengoptimalkan kemampuan berpikir ini dengan berbagai cara untuk melatih dan membiasakannya.
Tujuannya supaya kita bisa mengendalikan sesuatu dengan tepat, membuat hidup menjadi tenang dan suatu keputusan yang diambil akan semakin kuat akurasinya.
Naluri dan Akal Sehat
Berangkat dari tulisan sebelumnya, saya berasumsi bahwa sejak lahir sebenarnya manusia sudah dianugerahkan untuk memiliki suatu naluri untuk berpikir. Naluri berpikir ini adalah sebuah kekuatan yang membuat manusia selalu mampu untuk berimajinasi dalam memecahkan masalah dan merekayasa setiap stigma-stigma sosial yang beredar di lingkungan sekitarnya.
Naluri berpikir ini pula yang nantinya akan melatih manusia untuk dapat bertindak cepat dan tegas dalam mengambil suatu keputusan. Hakikat seorang manusia di bumi adalah seorang pemimpin dan pemimpin memiliki tugas untuk mengarahkan, mencontohkan dan mengambil keputusan. Seni pengambilan keputusan inilah yang sebenarnya tingkat lanjutan secara praktikal dari naluri berpikir itu sendiri.
Naluri berpikir mendapatkan stimulus dari akal sehat supaya dapat membedakan apa yang benar dan apa yang salah, mana yang terbaik dari seluruh kemungkinan dan konsekuensi yang mungkin ditimbulkan.
Maka dari itu, memberikan suatu klasifikasi benar dan salah dalam suatu pengambilan keputusan adalah suatu kedangkalan dalam berpikir. Menurut saya, tidak boleh dikotak-kotakkan hanya berdasarkan asumsi benar dan salah. Klasifikasi boleh dilakukan hanya berdasarkan mana yang terbaik dari seluruh kemungkinan dengan menjabarkan setiap pro dan kontra yang ada.
Sebaik apapun keputusan yang diambil dalam suatu pilihan, pasti akan selalu ada argumen atau pihak yang berusaha untuk menentang. Hal itu karena naluri berpikir manusia lain tidak bisa disamaratakan dengan doktrin yang sama secara utuh. Perangkat berpikir setiap manusia berbeda-beda tumbuh kembangnya karena dipengaruhi oleh lingkungan mereka tinggal, pendidikan yang hidup disekitarnya dan niat diri.
Disini saya ingin mengingatkan bagi kalian yang sudah membaca sampai pada titik ini.
Naluri berpikir tidak akan pernah hilang dari setiap kemampuan kognitif manusia. Ia akan selalu tumbuh dan berkembang namun tidak tahu seberapa cepat percepatannya. Maka dari itu, membiasakan diri untuk bisa menganalisa dalam berpikir sebelum bertindak adalah sebuah teorema untuk memanusiakan manusia kembali.
Dari naluri berpikir itu, akan lahir sebuah kemampuan ciri khas bagi manusia untuk bisa memilih. Manusia sebenarnya tidak memiliki hak untuk membedakan sesuatu yang benar dan salah hanya berdasarkan atas aturan-aturan atau doktrin serta ideologi yang digunakannya. Maka dari itu, dalam pengambilan keputusan harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang ada dan berusaha merasionalisasikan setiap keputusan yang dikeluarkan.
Semoga setiap dari kita tidak lupa bahwa potensi untuk bisa mendobrak peradaban sudah dimiliki dari awal oleh manusia, tinggal bagaimana cara kita — manusia modern — mampu mengoptimalkan dan memanfaatkannya.
Mochamad Fathur Hidayattullah
Tanjung Enim, 17 Juni 2001
15.07 WIB