Musabab Stagnan dan Palsu

Fathur Hidayattullah
4 min readApr 6, 2023

--

Photo by Nadine Shaabana on Unsplash

Waktu sahur menemani situasi gelapnya malam dengan diiringi alunan Ratibul Al Haddad. Ketenangan dan kebahagiaan menyelimuti pikiran sehingga menguatkan raga dan jiwa sebagai manusia. Kali ini alam sadar selalu dikalahkan yang membuat mata dan otak selalu bekerja. Memikirkan segala sesuatu yang sedang terjadi di dunia dan yang berakibat pada diri — sebagai manusia. Lantas, membuat saya semakin bersemangat untuk memainkan segala misteri yang sedang dihadapi sekarang secara akal sehat dan spiritualitas.

Manusia selalu dilahirkan dengan sebuah kedigdayaan akan mereka mampu mengatur atas apa yang mereka lihat dan rasakan. Begitupun saat dihadapi dengan sebuah masalah. Jumawa dan angkuh sudah diperingatkan oleh Tuhan melalui kitab suci yang diwahyukan kepada para Nabi dan Rasul. Tetapi, hal tersebut tidak membuat kita menjadi makhluk yang selalu menelaah dan mengawasi akan sesuatu yang hadir.

Tulisan ini akan saya usahakan untuk bisa berbicara mengapa pada setiap diri manusia selalu terpenjara akan suatu hal yang sifatnya stagnan — berhenti total. Pengalaman akan menjadi sumber utama bagaimana hipotesis ini dapat muncul dalam tulisan sekarang. Sering kali dalam perjalanan yang saya temui bahwa:

Semakin pintar, cerdik dan kuat dirimu maka semakin pintar, cerdik dan kuat pula lawan yang akan kau hadapi.

Kalimat tersebut benar-benar saya rasakan ketika sedang diamanahkan dalam suatu jabatan. Dalam artian, permasalahan yang akan kau hadapi itu benar-benar tidak terduga oleh akal dan bingung datang hal ini darimana. Seolah-olah semua rencana yang sudah dipersiapkan dengan semua opsi penggantinya harus dilululantahkan. Betapa tidak kecewa hati dibuatnya.

Permasalahan yang coba muncul pun beragam akan maksud dan tujuannya. Bisa terjadi karena kebodohan sendiri atau ketidakmampuan diri untuk mengantisipasi. Atas nama pemimpin, maka semua hal itu harus dipertanggung jawabkan dengan sungguh-sungguh sebagai bentuk integritas akan manusia bermoral.

Pertanyaannya adalah siapa sebenarnya dibalik semua masalah ini. Apa yang menjadi motifnya dan bagaimana bisa tersusun dengan rapih serta kenapa harus muncul disaat seperti ini? Sebuah teka teki bukan?

Pemahaman ini selalu saya coba tafsirkan atas seluruh kronologis dan poin-poin sebab akibat yang mungkin dapat dikorelasikan satu sama lain. Timbulah asumsi-asumsi liar yang mendasari akan terjadinya hal ini seperti:

  1. Murni ketidakmampuan sebagai seorang pemimpin dalam memikirkan strategi dalam menghadapi masalah.
  2. Solidaritas dan Integritas yang tidak dapat dipegang dalam suatu amanah secara menyeluruh (bukan satu pihak/satu orang saja).
  3. Peta jalan Tuhan dalam mengembangkan suatu makhluk.

Tiga hal tersebut menjadi musabab akan kenapa hal yang sedang dijalani tampak terlihat stagnan.

Stagnan menjadi sebuah kata yang saya coba lakukan untuk mendefinisikan ulang akan makna dalam suatu peristiwa. Stagnan membuat saya dan beberapa kerabat saya akhirnya duduk sejenak di persimpangan kekuatan dan menyerah. Isyarat yang lahir seolah-olah memberitahu bahwa:

Silahkan rehat sejenak, berpikir dan evaluasi lalu terakhir, laksanakanlah rencana.

Saya berusaha memahami kondisi stagnan ini bahwa apakah semua hal yang sifatnya stagnan merupakan suatu konotasi negatif untuk menyatakan kita tidak berprogres sehingga menjadi sebuah masalah?

Apakah stagnan adalah bukti kegagalan dan ketidakmampuan dalam mengelola sesuatu yang dari awal sudah menjadi potensi dan sumber daya yang kita miliki?

Apakah benar pendefinisian stagnan berupa berhenti total ini sudah cukup luas untuk bisa dipahami oleh saya selaku manusia ini?

Ternyata memang hanya saya yang berpikiran kerdil, bodoh dan terlalu cepat mengambil keputusan atas kondisi yang terjadi.

Stagnan yang pahami secara maknawi adalah berhenti total ternyata sebuah kepalsuan belaka. Kepalsuan yang hadir karena ketidaksanggupan saya dalam melihat perspektif yang jauh lebih luas, jauh lebih mahsyur dan jauh lebih kuat.

Kondisi ini semakin membuat saya yakin bahwa penyelesaian akan selalu hadir dalam setiap masalah yang hadir dalam manusia dengan cara dan waktunya masing-masing. Kekuatan untuk memaknai sesuatu adalah hakikat manusia seutuhnya. Namun, terkadang kekuatan untuk memaknai tersebut tidak dapat dikelola dengan baik sehingga hanya mampu menghasilkan kekuatan untuk mengartikan sesuatu secara bahasa.

Hal inilah yang membuat saya beranggapan bahwa perspektif manusia terkadang dapat bersifat palsu bagi sudut pandang lain yang melihatnya. Bentuk tersebut bukanlah sebuah kesalahan tetapi sebuah pengingat bagi saya sendiri untuk selalu mencari cara dengan akal sehat ini bahwa segala sesuatu ada jalannya dan caranya.

Musabab stagnan dan palsu ini membuat saya semakin yakin bahwa manusia belum semampu itu untuk dapat memaknai akan seluruh peristiwa yang dia alami sendiri dalam menjalani hidup. Ia belum cukup hebat untuk menilai apa yang baik bagi dirinya, mana yang tepat bagi dirinya dan mana yang perlu lebih awal bagi dirinya.

Terkadang kemampuan untuk memaknai dan menilai hanya lahir secara prematur karena kegagalan untuk bisa melihat suatu hal dengan perspektif yang luas. Kegagalan tersebut karena musuh yang dia lawan adalah dirinya sendiri sehingga dia tidak sadar bahwa disaat dia putus asa maka dia sudah kalah dari awal.

Pemikirannya sudah mematikan dan membuat langkah menuju kalah menjadi realita selama-lamanya.

Mochamad Fathur Hidayattullah

Bandung, 06 April 2023

07.50 WIB

--

--

Responses (1)