Muda, Merantau, Merdeka
Keheningan sekarang sudah menjadi sahabat untuk menjadi lawan bicara. Seakan sudah tidak mengenal arti keramaian dan makna tertawa bersama. Momen berlalu dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi tahun yang penuh keletihan, dilema dan ketidakpastian. Apakah semua hal ini diwajarkan atau tidak? saya pun tidak tahu jawaban pastinya karena setiap kausalitas yang timbul tidak benar-benar mampu saya pahami.
Bandung sekarang menjadi saksi atas segala hal yang saya perbuat untuk memberikan panggung pertunjukan pada dunia bahwa,
Saya mampu, saya siap dan saya rela.
Semua mentalitas itu adalah hasil pendidikan yang saya pelajari atas ambisi untuk merubah takdir supaya menjadi kualitas yang lebih sempurna. Namun, realita memang tak seindah surga sehingga saya harus belajar juga atas sesuatu yang bernama kebodohan.
Kebodohan adalah suatu kesadaran diri akan ketidakhandalan dan ketidakmampuan diri kita dalam menciptakan perubahan. Tetapi apakah itu merupakan suatu bentuk kehinaan yang nyata? menurut saya tidaklah demikian. Justru terkadang melalui kebodohan inilah setiap entitas mampu menunjukkan eksistensi yang nyata dalam melakukan perubahan.
Saya sadar bahwa manusia hanya membutuhkan perasaan merasa bodoh dan kesempatan untuk menunjukkan eksistensi kemampuannya untuk menciptakan perubahan yang dia pun sendiri tidak sadar dampaknya sebesar itu. Kita memang tidak diciptakan memiliki indera yang mampu memprediksi masa depan, maka sadarlah akan kekuatan yang kau miliki dan kesempatan yang dipertemukan.
Muda dan Perantauan.
Menjadi muda adalah sebuah hak istimewa yang dimiliki manusia pada kondisi dan waktu tertentu. Tidak semua orang mampu menikmati keadaan itu. Konsep muda adalah hak prerogatif Tuhan dimana ia akan memberikan semua proporsi dan kualitas terbaik pada individu guna menghasilkan output terbaik kepada dunia.
Selayaknya menjadi muda, terkadang kita terlalu terkotak-kotakan oleh media yang mampu mencuci setiap pemikiran manusia supaya karakteristik muda terbaik harus memiliki parameter-parameter tertentu. Opini publik yang dungu namun selalu dinormalisasi oleh otak karena ketidakmampuan untuk menerima diri sendiri — seutuhnya dan sekerasnya.
Saya percaya bahwa disaat dalam fase muda maka diperlukan suatu cara bagaimana kita sadar bahwa kita adalah ‘muda’ dan ‘muda’ ini sadar bahwa ia harus mengeluarkan potensinya untuk kita.
Salah satu cara yang saya lakukan adalah dengan merantau.
Sebuah proses pendewasaan diri dengan motivisi diri mulia untuk menjadikan pribadi yang lebih baik secara norma dan pengetahuan.
Menjadi muda harus memiliki katalisator supaya kekuatan — muda — dapat keluar menciptakan perubahan dan memajukan peradaban. Katalisator itu adalah sebuah tindakan aksi yang saya beri nama merantau. Musabab ini adalah pengalaman pribadi bahwasanya saya belajar untuk mampu memandirikan diri dan menentukan suatu keputusan untuk diri sendiri. Mungkin terdengar sebuah keanehan namun sebenarnya itu adalah sebuah kebijaksanaan.
Saya sadar bahwa untuk bisa memandirikan diri sendiri dengan bertanggung jawab atas amanah, pilihan hidup dan keluarga adalah sebuah pemikiran dan aksi yang langka. Hal ini karena pada dasarnya manusia diciptakan untuk memfokuskan diri sendiri tetapi dengan sifat keegoisan dan ketamakan. Maka dari itu, jikalau tidak dipelajari dan diatur maka dapat memakan diri sendiri ke dalam jurang penyesalan.
Saya sadar bahwa menentukan suatu keputusan dalam hidup atas dasar rasionalitas, emosionalitas dan intelektualitas adalah sebuah kebijaksanaan dalam hidup. Hal ini karena manusia sering meremahkan pertimbangan dalam hidup yang sebenarnya dapat mempengaruhi lingkungan sekitar, termasuk diri sendiri. Keputusan harus didampingi oleh kebijaksanaan guna menghasilkan kesejahteraan.
Muda Untuk Mereka yang Merdeka.
Sudah sampai di penghujung tulisan ini.
Karya ini sebenarnya ingin menunjukkan bahwa muda adalah sebuah pemikiran bagi siapapun yang merasakan akan gejolak untuk melakukan perubahan baik dalam diri maupun lingkungan sekitar.
Kita selalu terdoktrinisasi oleh opini-opini publik bahwa mereka yang telah dewasa seakan-akan memiliki kewenangan penuh dalam menentukan arah jalan perubahan. Saya menentang paradigma itu. Kutegaskan sekarang,
Pemikiran dan aksi adalah sebuah hubungan think thank yang akan selalu mengelilingi jiwa-jiwa muda. Muda hanyalah sebuah kata yang pemaknaannya dilandasi oleh keinginan untuk menerima keadaan dan melanjutkan langkah untuk lebih baik. Tidak tersegmentasi oleh parameter umur, karena ia — muda — lebih sakral dari itu. Kusimpulkan dengan baik bahwa,
Muda untuk mereka yang merdeka.
Mochamad Fathur Hidayattullah
Bandung, 24 April 2022
16.53 WIB