Lantas, Untuk Apa Kemewahan itu?

Fathur Hidayattullah
4 min readMay 10, 2024

--

Photo by Kym MacKinnon on Unsplash

Hidup adalah konsekuensi untuk bertanggung jawab.

Bertanggung jawab kepada Tuhan.

Bertanggung jawab kepada keluarga, khususnya orang tua.

Bertanggung jawab kepada sesama manusia dan lingkungan sekitar.

Kehidupan sejatinya tidak pernah mencari bagaimana ini akan menjadi sebuah akhir cerita yang indah. Apakah waktu berusaha untuk menyusun rangkaian cerita dengan alur yang menarik atau bahkan membiarkan saja layaknya takdir seorang yang berubah karena usahanya sendiri.

Kendati demikian, begitu banyak hal-hal yang terjadi dan kita tidak tahu sebab akibat mengapa itu menjadi sebuah segmen dalam hidup kita. Semakin kita mencoba mencari tahu, maka semakin besar pula kita tenggelam dalam kenaifan untuk mencapai sesuatu yang mahsyur.

Apapun yang menjadi tindakan yang kita lakukan memiliki pangkal untuk menjadi sebuah untaian tali yang jikalau kita tarik akan menceritakan setiap untaian; mengapa dunia ini bisa terjadi. Disitulah kita bisa mengerti mengapa kita memiliki peran untuk andil dalam setiap ekosistem di dunia.

Keadaan menjadi semakin tidak terkendali saat kita membabi buta menilai segala sesuatu yang sebenarnya — kita terlalu bodoh — terjadi dengan sesuatu yang memiliki alasan.

Pernah berpikir bahwa Tuhan tidak mungkin menciptakan hujan hanya untuk membuat susah para pekerja petani pangan?

Pernah berpikir bahwa Tuhan tidak mungkin menciptakan kemarau hanya untuk membuat kekeringan bagi seluruh alam semesta?

Kemewahan dapat menjadi sebuah kekuatan jikalau kita menggunakan sudut pandang yang tepat. Sudut pandang ini yang harus kita asah supaya terbiasa untuk menikmati sesuatu dari kacamata pertumbuhan positif.

Ketika kita bertumbuh untuk menjadi sesuatu yang kita inginkan. Kita akan berusaha menggunakan segala sesuatu sumber daya yang kita miliki. Sumber daya tersebut kita berdayakan untuk membuat diri menjadi bernilai, melipatgandakan hasil dan memberikan kebermanfaatan.

Tak jarang, penilaian akan sumber daya tersebut menjadi sebuah kemewahan yang segilintir orang menilai bahwa itu adalah karunia Tuhan yang tidak mampu dijamah. Mutlak pilihan Tuhan.

Pada akhirnya takdir yang disalahkan.

Perkara sesuatu yang menjadi kemewahan bagi dirinya, membuat manusia berani-beraninya menyalahkan takdir yang telah direncanakan sempurna untuknya. Inilah kesombongan akibat ketidakmampuan untuk menilai.

Kemewahan yang kita miliki adalah usaha-usaha — baik secara langsung maupun tidak — yang dilakukan oleh kita sendiri atau pihak yang berkaitan dengan kita.

Wajib kita syukuri dan kita berdayakan sebaik mungkin, tetapi tidak sama sekali bergantung akan kemewahan tersebut.

Kemewahan dapat menjadi sebuah perisai yang kuat untuk membentengi diri akibat risiko dan ketidakpastian yang terjadi diluar sana, tetapi dia juga mampu menjadi pedang yang mampu menusuk kita dari belakang akibat kebodohan kita.

Kemewahan-kemewahan yang kita miliki tidak seharusnya menjadi sebuah daya juang utama dalam membuat diri kita menjadi jauh lebih baik. Kemewahan harus menjadi sebuah kendaraan yang matang, tetapi pengemudi yang pintar akan belajar juga cara menyetir kendaraan dengan baik.

Maka, berlatihlah untuk menggunakan kemewahan tersebut dengan bijak dan dewasa. Kemewahan ini harus digunakan untuk menciptakan kekuatan dalam diri untuk selalu berjuang menjadi diri yang lebih baik dari yang sekarang.

Kemewahan ini juga harus menjadi sebuah pengingat bahwa Tuhan memberikan karunia ini dengan alasan yang tepat dan jelas. Bisa jadi, Tuhan tahu bahwa tanpa kemewahan ini, kita tidak mampu menjadi setara seperti orang-orang yang menjalani hidup seperti kita.

Kemewahan diberikan, keadilan Tuhan bekerja.

Patut harus disadari juga bahwa kemewahan ini bersifat sementara, bukan kekal nan abadi. Makanya, kebergantungan akan hal ini hanya membuat kita menjadi seseorang yang sombong dan jumawa.

Percayalah, kemewahan yang mengantarkan kita menjadi maha-manusia di posisi teratas, dapat secepat kilat berbalik menjadikan kita manusia penuh ketakutan.

Jangan sedikitpun berani untuk membanggakan kemewahan itu untuk merendahkan orang lain. Kita tidak tahu kemewahan itu juga dapat berpindah ke orang lain dan tentu setiap kemewahan memiliki tuan-nya sendiri untuk bernaung atas kepercayaan terhadap manusia itu sendiri.

Kemewahan ini harus ditafsirkan sesuai dari cara berpikir kita masing-masing.

Ada yang menilai bahwa memiliki rupa fisik adalah kemewahan, ada yang berpikir bahwa memiliki keluarga yang terlahir kaya adalah kemewahan dan adapula yang berpikir bahwa menjadi seseorang yang berpendidikan adalah kemewahan.

Semua manusia memiliki hak untuk menilai taraf seperti apa kemewahan yang mereka maksud tersebut.

Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah;

“Untuk apa kemewahan itu semua?”

Saya pribadi memberikan jawaban, yaitu untuk menjadikan kita sebagai manusia yang bertanggung jawab akan visi yang kita tentukan sendiri.

Saat kita memiliki kemewahan, maka kita bertanggung jawab atas darimana kemewahan itu lahir. Kemewahan tersebut memberikan sebuah kunci untuk kita gunakan dalam menentukan kamar mana yang menjadi visi kita dalam menciptakan perabadan manusia.

Ketika visi besar telah lahir dan mampu bertransformasi menjadikan kita sebagai manusia yang beradab dan berintelektual, maka kekuatan itu membuat kemewahan yang kita memiliki arti yang besar.

Kemewahan terlahir karena sesuatu alasan dan alasan tersebut membuat kita menjadi manusia yang bertanggung jawab akan hidup kita.

Visi besar membuat kemewahan menjadi sesuatu yang bermakna.

Manusia terlahir untuk bertanggung jawab akan visi tersebut dan memberikan arti pada setiap kemewahan yang dimilikinya.

Mochamad Fathur Hidayattullah

Jakarta, 10 Mei 2024

15.00 WIB

--

--