Ketidakadilan Sejarah
Mengulik makna kata ‘sejarah’ seakan kita memutarbalikkan waktu untuk melihat cerita-cerita yang terukir pada media yang berbeda-beda. Kamera film yang menangkap gambar tiap detik. Tulisan yang merekah pada setiap lembaran kertas. Suara yang hidup pada setiap animasi video menggunakan teknologi masa kini. Seolah-olah sejarah meskipun berkaitan dengan masa lalu-lampau tetapi akan selalu mengikuti dan mengejar masa depan hingga tak berujung.
Kita selalu mempelajari sesuatu bermulakan dari yang namanya sepenggal sejarah. Bagaimana kita mengenal yang namanya etika moral bermanusia. Sesuatu yang diharam dan halalkan. Apa yang perlu dilakukan selama hidup. Apa yang baik menurut hukum alam dan agama. Apa yang buruk menurut subjektifitas manusia. Semua hal-hal tersebut bersumber dari kisah sejarah yang diwariskan dari manusia satu ke manusia yang lain. Terus berangsur-angsur sehingga layaknya wasiat kehidupan.
Kesakralan sejarah akan selalu dipertanyakan.
Kemurnian sejarah lama kelamaan akan pudar oleh pesan dan kepentingan tertentu.
Kehormatan sejarah akan hilang seiring dengan kesepakatan bersama. Entah itu berdampak baik atau buruk.
Ketidakadilan sejarah inilah yang membuat saya sedikit merenung di malam ini. Bagaimana ternyata segala yang saya agungkan sebagai prinsip dan kekuatan dalam hidup hanyalah sebuah ilusi dan pandangan subjektif yang lahir dari mulut orang-orang terdahulu. Pemikiran yang saya yakini benar-benar bisa berubah bias seketika, jikalau asumsi saya benar. Keadaan ini membuat saya terpikirkan bahwasannya pandangan objektif sejarah itu harus tetap dijaga kemurnian dan sudut pandang harus diambil dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Sejarah akan selalu menjadi sumber pelajaran yang maha agung bagi manusia-manusia zaman modern. Mau tidak mau, suka tidak suka maka kita akan terjun pada suatu ungkapan bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah oleh Bung Karno itu adalah benar. Hidup akan selalu berubah dan kita akan tahu menjadi lebih baik melalui perantara sejarah.
Ketidakadilan sejarah juga mampu membutakan pada kebenaran yang mengikat dan tunggal. Sebenarnya ini diluar kemampuan manusia untuk mengatur dan mengetahui seluruh dan maksud tujuan dari sejarah sesuatu. Namun, kadangkala disaat kita harus memilih dan berpegangan maka sejarah itu yang kita jadikan landasan. Hal ini yang menimbulkan perbedaan keyakinan dan pandangan yang sering berujung pada perpecahan dan peperangan.
Begitu jenaka kehidupan menjadi seorang manusia, kadangkala kita bisa saling membunuh satu sama lain, saling menghabisi satu sama lain, dan saling membenci satu sama lain hanya karena didasari atas nama persepsi dan asumsi yang dibuat oleh entah siapa (orang-orang terdahulu).
Ketidakadilan sejarah akan selalu hidup abadi selama manusia hidup di dunia. Manusia memiliki akal sehat mereka masing-masing sehingga mereka dapat memberikan pendapat atas segala sesuatu — yang menurut mereka — benar.
Maka dari itu, selayaknya kita memiliki akal sehat dan sejarah akan lebih bijak dan kuat jikalau sikap toleransi dan saling menghargai dijadikan sebuah jubah untuk selalu menyesuaikan diri pada saat dimanapun dan kapanpun.
Hidup terlalu singkat untuk kita berperang atas nama sejarah yang sebenarnya kita tidak tahu, apakah benar-benar otentik atau tidak.
Terakhir, Selamat datang Bulan Juni!
Mochamad Fathur Hidayattullah
Palembang, 02 Juni 2021
Pukul 19.13 WIB