Keserakahan Ego, Mati Berserakan

Fathur Hidayattullah
4 min readJul 14, 2024

--

Photo by Deepanshu Yadav on Unsplash

Keserakahan ego, hilangkan interaksi tanpa bentuk.

Kuliti impian dan hubungan yang telah lama terjalin.

Tidak mengenal memori indah, tidak mengenal kesan pertama.

Hancur lebur merayakan kematian yang berserakan.

Penggalan bait puisi yang saya buat dan tidak akan pernah saya selesaikan karena ketidakmampuan diri untuk mendeskripsikan bagaimana ego benar-benar mampu mem-bumi hangus-kan interaksi baik antar manusia.

Kondisi yang tidak sempurna ini menyadari bahwa ego, nafsu atau apalah nama karakter itu akan melupakan sifat humanis yang dimiliki oleh setiap manusia. Saya merasa bahwa sejatinya ego adalah naluri yang dimiliki oleh manusia. Ia bisa dikendalikan dan diberdayakan sesuai keinginan kita.

Namun, entah mengapa terasa sukar sekali untuk mencoba membuat ia menurut akan perkataan hati. Kehadiran ego yang tidak terkendali berhasil membuat saya menjadi manusia paling bodoh dan individualis.

Saya merasa sedih sekali saat orang-orang diluar sana menunjukkan rasa kagum dan memberi sanjungan kepada diri ini, padahal saya tidak sesempurna itu untuk dijadikan panutan.

Saya menuliskan kalimat diatas dengan rasa sungguh-sungguh yang sangat mendalam. Tidak sesempurna itu untuk layak dicontoh dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Ketidaklayakan ini lahir karena saya merasa belum mampu untuk menguasai ego sendiri sebaik dan seluhur itu.

Apapun kondisi diluar sana yang mungkin memberikan dampak jangka pendek, masih sering saya pilih untuk kepuasaan sesaat. Padahal reputasi itu tidak pernah berubah setelah terjadi dan saya mengalami kesedihan itu.

Ketakutan akan masa depan duniawi berhasil menghantui cara berpikir dalam memandang masa depan. Seakan-akan hal yang tercipta di dunia ini menjadi ukuran akan besaran yang pasti dalam menggapai kesuksesan. Validasi merasuki setiap tindakan yang diambil karena membutuhkan pengakuan akan setiap manusia yang pernah ditemui atau bahkan yang akan ditemui nanti.

Pertanyaan selalu bergulir untuk memberikan kepuasaan akan perasaan hati bahwasanya bagaimana diri ini tidak terjerumus dalam ketakutan dunia dan validasi status sosial yang hidup beringiringan sebagai bentuk konsekeunsi akan hidup bermasyarakat.

Semakin waktu berjalan maka semakin saya sadar bahwa saya tidak sekuat dan sepintar layaknya orang-orang bilang. Sempat terlintas bahwa saya memang sebaik itu. Namun, ternyata itu hanya kesemuan belaka.

Kebodohan yang lahir karena ego mampu menguasai diri sehingga tidak mampu merefleksikan diri bahwa masih banyak kekurangan, masih banyak kebodohan dan masih banyak kebingungan yang dihadapi.

Bukan berarti merasa menjadi manusia gagal seutuhnya, saya hanya gagal dalam memahami bagaimana cara kerja naluri manusia dalam menghadapi keputusan yang dia ambil. Dahulu saya merasa bahwa saya sudah punya cukup bekal dalam ilmu pengambilan keputusan dunia.

Tetapi, pada akhirnya saya menyadari bahwa konteks ‘keputusan yang mampu dipertanggungjawabkan’ adalah keputusan yang bukan hanya mementingkan diri sendiri tetapi keputusan yang tetap memperhatikan interaksi antar manusia yang terlibat dalam keputusan tersebut.

Hal ini berarti bahwa prinsip bermanusia dalam kerangka etika dan norma sosial serta agama harus menjadi landasan dalam mengambil keputusan. Terdengar klise bagi kedengaran orang, tetapi percayalah tidak semudah itu untuk mempertanggungjawabkan keputusan dunia yang diambil.

Maka dari itu, perasaan hati yang sering terbalut akan keserakahan ego akan membangun karakter manusia yang belum bisa disebut sebagai ‘manusia seutuhnya’. Manusia seutuhnya adalah manusia yang paham akan bagaimana cara menghidup dirinya sendiri di dalam lingkaran manusia lain sehingga tidak menimbulkan perselisihan batin dan emosi.

Mungkinkah manusia mampu memberdayakan ego mereka untuk menciptakan reputasi yang baik antarmanusia?

Mungkinkah manusia menunjukkan sisi humanisnya dalam setiap pengambilan keputusan yang sedang dihadapi?

Mungkinkah manusia percaya bahwa ketakutan dunia adalah alam bawah sadar yang melahirkan keserakahan ego?

Biarlah tiga pertanyaan itu menjadi kerangka berpikir sejenak bagi diri saya untuk merenungi akan sebaiknya seperti apa melangkah di usia sekarang. Tanggung jawab yang selalu hadir semakin membuat diri harus semakin hati-hati akan bertindak karena ego juga akan bertambah usia sehingga ia semakin dewasa pula untuk mencari cara dan hidup.

Kita hidup beringiringan dengan karakter itu dan lantas menghilangkan ia bukanlah jalan yang bijaksana karena kita pasti membutuhkan dia dalam kondisi-kondisi tertentu dalam hidup. Maka, cara yang bijak adalah berteman dan berusaha untuk saling supportif satu sama lain.

Namun, sejujurnya jikalau kalian yang membaca ini bertanya bagaimana caranya?

Saya sepenuhnya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Sampai saat ini pun saya berusaha untuk keluar dari zona penyerangan akan karakter itu. Saya masih dalam kondisi bertahan sambil berdoa bahwa Tuhan masih memberikan rasa sayang-Nya untuk saya selalu berubah memperbaiki keadaan.

Kebaikan hadir bagi mereka yang mencari kebaikan itu sendiri. Orang-orang baik hidup dalam keyakinan akan hidup harus menjadi lebih setiap harinya. Menyandarkan diri akan sesuatu yang Maha Besar adalah suatu prinsip yang sudah menjadi dogma dalam hidup sebagai manusia bagi mereka.

Akhirnya, permintaan maaf kuberikan kepada kalian semua yang apabila dalam setiap perkataan dan tindakan yang saya lakukan pernah menggoreskan kebencian, kekesalan atau bahkan rasa dendam.

Saya belajar untuk menjadi jauh lebih baik, jauh lebih humanis dan jauh lebih bijaksana dalam berpikir. Semoga Tuhan memberikan ketetapan hati yang kuat untuk itu.

Perkataan dalam tulisan ini akan menjadi sebuah saksi bahwa ketidakinginan untuk menjadi rusak dan hancur harus diabadikan.

Saya siap akan kondisi yang membawa kehancuran bagi diri ini, tetapi tidak mati dengan berserakan.

Mochamad Fathur Hidayattullah

Jakarta, 14 Juli 2024

14.00 WIB

--

--