Kemenangan Nyata
Panggilan kemenangan sudah bergema dengan iringan genderang syair pujian-pujian kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Hari ini menjadi sebuah momen kebahagiaan dan rasa syukur atas seluruh kewajiban yang dilaksanakan dalam memenuhi rukun islam. Pemaknaan sederhana akan puasa yang hanya sebatas menahan rasa lapar dan nafsu adalah bentuk kedangkalan ilmu yang dimiliki oleh saya. Setiap hari harus belajar dan menggenapi ilmu yang diberikan oleh orang-orang berilmu. Semoga mereka selalu diberi ridha dan panjang umur dalam mensyiarkan kebenaran.
Disini saya ingin mengajak penikmat tulisan untuk berkontemplasi atas seluruh yang sudah terjadi selama satu bulan terakhir. Disini tidak hanya bagi kaum muslim yang berlaku, tetapi kaum non muslim juga memiliki hak untuk bisa merenungkan sejenak atas apa yang terjadi selama satu bulan kemarin. Lingkungan yang kita hadapi secara kultural memang hidup atas kebudayaan dan tradisi islam. Hal itu menyebabkan segala bentuk kejadian, kebiasaan dan keputusan sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang mencoba mengasimilasikan atas keputusan yang diambil.
Bentuk tersebut hadir karena adanya keragaman yang ada di negeri ini dan saya rasa itu patut disyukuri karena — seharusnya — menimbulkan bentuk toleransi yang tinggi dan saling menghormati yang konkret.
Kontemplasi bertujuan untuk membawa alam bawah sadar untuk bisa berpikir jernih. Merangkai setiap pemikiran dengan akal sehat atas apa yang telah dilakukan selama ini. Hakikat puasa adalah menahan diri dari segala bentuk godaan yang membatalkannya. Renungan untuk bisa memaknai itu barulah hadir saat saya mencoba melihat bagaimana saya mengaktualisasikan diri dengan kondisi sekitar.
Saya sadar bahwa hikmah yang lahir adalah bagaimana manusia bisa untuk memegang amanah dan bertanggung jawab atas kewajiban diri yang ia sedang jalani dan percayai. Secara tidak langsung, puasa berusaha mendidik saya untuk belajar bagaimana menjadi manusia yang berintegritas akan komitmen. Pemaknaan ini lahir tidak tiba-tiba, saya sering menggunakan metode socrates untuk bertanya kepada diri sendiri bahwasannya:
Kenapa Allah SWT menurunkan kewajiban ini kepada hamba-Nya? Apa yang sebenarnya yang ingin ditujukan dan ingin diberi tahu kepada kami yang maha bodoh ini?
Disini saya tidak akan mencoba memberikan argumen dari sudut pandang keilmuan agama (karena saya sadar diri akan kemampuan yang saya miliki). Tapi mari kita coba untuk melihat dari sudut pandang rasionalitas dan filsafat kemanusiaan sederhana.
Hakikat Menahan Diri Atas Larangan
Puasa memiliki arti — yang saya ketahui — adalah menahan diri dari segala yang membatalkannya. Perintah ini hadir untuk bisa membuat manusia bisa belajar dan merasakan akan bentuk syukur yang diterima oleh kita sebagai manusia. Selain itu, sebagai bentuk konkret akan ibadah yang dilakukan kepada Allah SWT.
Kontektualisasi yang coba dihadirkan dalam konsep puasa ini adalah:
Bagaimana kita mencoba untuk berkomitmen (amanah dan bertanggung jawab).
Bagaimana kita bisa konsisten akan konsekuensi atas pilihan yang dipercayai.
Bagaimana menjadi pribadi yang mencapai bentuk kesempurnaan atas dogma yang dianut.
Mulai dari tiga kalimat diatas, saya berusaha menyelami dan bertengkar dengan maksud dan tujuan dari perintah Tuhan yang tujuannya mencari tahu jawabannya.
Amanah artinya kita dapat dipercayai atas suatu perkara yang kita pegang. Kita berusaha menjalankan hal tersebut sesuai dengan kondisi yang terjadi dan menjadi sosok yang rela berkorban atas segala keputusan dan dampak atas keputusan tersebut yang diambil. Amanah melahirkan integritas bagi seorang manusia dan puasa mencoba memberikan bentuk pelatihan sederhana akan bagaimana membentuk mental yang amanah.
Sering kali kepercayaan diri untuk memegang keteguhan hati bersikap amanah harus dirubuhkan dengan segala hal yang sifatnya sementara dan palsu. Memang begitulah kekurangan manusia dan tujuan turunnya ‘berbagai macam bentuk ujian’ untuk bisa memilih mana yang layak dan mana yang tidak.
Integritas adalah sebuah kemewahan yang hanya dimiliki bagi mereka yang berhasil membunuh kenikmatan yang sifatnya palsu dan sementara.
Integritas barulah lahir saat kita bisa memegang amanah akan keputusan yang timbul dan bertanggung jawab akan hal itu.
Jikalau konsep berpuasa dimaknai secara lebih dalam akan memiliki korelasi yang spesifik untuk membentuk pribadi manusia yang memiliki integritas tinggi. Bentuk katalisator untuk menyempurnakan ini adalah sikap konsisten yang harus selalu mengiringi jalannya mental integritas ini. Jikalau tidak diingiringi maka kemanfaatannya tidak akan lama.
Kehematan yang muncul memberikan suatu bentuk kesimpulan bagi saya bahwasannya selama satu bulan terakhir itu Allah SWT sedang memberikan bentuk pelatihan bagi saya untuk bisa menjadi pribadi manusia yang memiliki integritas yang tinggi.
Integritas yang amanah dan tanggung jawab dalam segala hal yang sedang dijalani serta konsisten dalam mempertahankan hal-hal positif.
Makna puasa haruslah dimodifikasi oleh setiap manusia yang memiliki kewajiban untuk melaksanakannya supaya mampu menciptakan sebuah gagasan atau pemikiran baru yang membuat ia memiliki alasan dalam melaksanannya — setidaknya menurut kepercayaan atas dasar rasionalitas berpikir yang dipegang sendiri.
Hakikat berpuasa yang melahirkan integritas tinggi ini sebenarnya adalah bentuk kesempurnaan yang diberikan jalannya oleh Allah SWT untuk mencapai kemenangan yang nyata dan kekal.
Mochamad Fathur Hidayattullah
Palembang, 22 April 2023
21.34 WIB