Jikalau Tidak Menjadi Apa-Apa

Fathur Hidayattullah
3 min readApr 2, 2024

--

Photo by Matthew Henry on Unsplash

Ketakutan terbesar saat ini tercermin saat bagaimana kita memutuskan untuk melangkah dalam setiap kejadian dan masalah yang dijalani. Perasaan takut tersebut sebenarnya yang mengisi dimensi kemanusiaan untuk setiap individu. Ketika kita sadar bahwa gejala hidup yang membuat kita terjatuh nan terpuruk akan memberikan fragmen-fragmen pengigat akan bagaimana seharusnya — hakikat — kita dilahirkan dan bertindak laku.

Jalanan yang lurus akan mengalihkan kita untuk selalu belajar bagaimana cara melihat ke kanan dan kiri dengan cara yang baik.

Pola kehidupan sebenarnya selalu sama.

Setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan dan setiap kesulitan yang diberikan tidak akan pernah melebihi kemampuan yang kita miliki.

Ketakutan melangkah yang tadi saya sebutkan akan memberikan penafsiran yang saya nubuatkan:

“Jikalau kita tidak menjadi apa-apa, lalu bagaimana?”

Kita seringkali terkotak-kotakan oleh asumsi dan kelas sosial yang dibuat oleh lingkungan sekitar kita, termasuk individu yang hidup di dalamnya. Kasta tersebut berhasil melakukan intervensi akan prinsip bermanusia dan keyakinan akan cita-cita. Seakan-akan kekuatan mayoritas — yang entah darimana datangnya itu — menjadi sebuah prasyarat pengakuan supaya kita diakui oleh peradaban.

Setiap individu berhak akan penghakiman kehidupannya sendiri. Kita semua mempunyai jangka waktu masing-masing atas pencapaian diri.

‘Apa yang kita lakukan’ dan ‘bagaimana kita melakukan hal tersebut’ akan membiasakan kita atas setiap alasan yang terjadi pada kondisi yang kita alami. Seringkali kita merasakan bahwa ketidakadilan pada dunia yang membuat kita merasakan putus asa akan jalannya hidup.

Keberpihakan seolah-olah harus memilih kita sebagai kawanannya. Padahal sejatinya, kita tidak mempunyai kuasa akan hal itu sehingga wajar apabila apa yang kita alami tidak sesuai dari ekspetasi diawal.

Ketidakadilan dunia bersifat semua dan bergantung akan bagaimana kita melihat atas apa yang menjadi bentuk keadilan tersebut. Ketidakpercayaan akan usaha bukanlah merupakan sebuah karakter yang membuat kita mampu bertahan hidup.

Kita tidak perlu pengakuan dunia untuk menjadi sesuatu yang dibanggakan atau dihargai. Pengakuan dunia tidak membuat kita menjadi ‘seseorang’ yang dianggap ‘ada’ dan ‘besar’. Pengakuan yang paling penting dan agung adalah pengakuan yang hadir dalam diri sendiri dan kepercayaan untuk menciptakan keadaan sekarang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Apa yang menjadi poin tulisan ini bukan merupakan sebuah pembelaan untuk membuat orang bersantai-santai akan hidup mereka masing-masing. Setiap individu mempunyai cara jalan dan fase jalur yang mereka miliki masing-masing. Kekuatan selalu hadir saat kita mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang sedang kita hadapi.

Pemikiran untuk selalu menjadi yang terbaik adalah pemikiran yang kuat untuk menjadi seorang yang besar dan mahsyur.

Tetapi, pemikiran tersebut juga mampu membunuh ego yang berakibat kepada ketidakpercayaan diri dan mengkultuskan satu tujuan.

Kita harus sadari bahwa ini merupakan bukan perihal kita menjadi ‘apa-apa’ dengan tolak ukur yang kita lihat dengan orang lain. Bukan juga sebuah perlombaan untuk menunjukkan siapa yang paling hebat dan cerdas. Serta, bukan pula ketidakmampuan kita untuk menunjukkan kualitas diri yang sudah dilatih dan dimiliki.

Keyakinan untuk bisa percaya yang disertai dengan komitmen dan disiplin akan menjadikan kita sebagai pribadi yang tangguh untuk melawan semua penilaian orang-orang yang hanya berdasarkan kelas sosial dan materi.

Kita — sebagai manusia — memiliki harkat dan martabat lebih tinggi dari itu.

Alangkah dangkalnya saat kita berkenan untuk dinilai dengan parameter-parameter yang kita sendiri tidak tahu apa yang menjadi esensi dan manfaat bagi diri kita sendiri.

Kita harus memiliki kekuatan besar untuk mengakui keberadaan dan potensi diri kita sendiri yang disertai dengan pemikiran unggul untuk mempelajari proses yang sedang kita jalani.

Kalimat terakhir yang bisa menutup tulisan ini adalah,

“Jikalau tidak menjadi apa-apa, memangnya kenapa?”

Mochamad Fathur Hidayattullah

Jakarta, 02 April 2024

09.22 WIB

--

--