Ideal-isme.

Fathur Hidayattullah
5 min readJul 25, 2020

--

Makam Mustafa Kemal Attaturk, Turki.

Akhir pekan ini pikiran mulai berpikir melanggar norma. Sosial, agama, dan budi perkerti dihabisi satupersatu. Asumsi liar semakin menjadi-jadi sebab kondisi sosial tak menentu. Tambah gila lah jasmani dan rohani yang tidak tahu sampai kapan harus menanggung beban hidup. Kewajiban seolah-olah sudah bias akibat waktu libur, hingga saya sendiri yang harus menciptakan kewajiban itu supaya menjadi ‘manusia’ seutuhnya.

Mendengarkan podcast perihal nikah muda.

Membaca buku The Prince atau dalam bahasa Perancis; De Principatibus, karya Niccolò Machiavelli — politikus Perancis — ditulis pada tahun 1513.

Mencoba memasak nasi goreng sendiri dengan mencampurkan berbagai macam bumbu dapur lalu berharap memiliki cita rasa seperti nasi goreng Uncle Loe.

Memang aneh.

Sangking sesatnya akal, saya sempat berpikir antara keberadaan Tuhan dan manusia.

Sebenarnya Apakah Tuhan yang menciptakan seluruh alam semesta beserta makhluk didalamnya memberikan cita-cita kepada kita?

Apakah Tuhan itu sebenarnya tidak serta merta hanya menciptakan, lalu kita — manusia — menjalankan ujiannya di bumi ini?

Menarik bukan? Pasti ada jawaban dibalik semua ini.

Menurutku, Tuhan terlalu berharap kepada manusia supaya menjadi makhluk paling sempurna dan taat. Mungkin ini hanya skenario yang dibuat-Nya supaya kita mampu belajar untuk menciptakan peradaban. Mungkin kita hanya sebidak catur yang diberi setetes akal untuk berdebat perihal siapa yang paling kuat? siapa yang paling benar? dan siapa yang paling rupawan?.

Mungkin saja.

Intinya, kita diberi cita-cita— secara tidak langsung — dan kesempatan harapan untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia. Maka dari itu, saya menyebut ini sebuah idealisme. Idealisme yang memiliki riwayat langsung ke penciptanya.

KBBI: Idealisme adalah hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna

Bahasa Indonesia juga mendefinisikan idealisme sebagai suatu aliran filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami.

Plato — filsuf Yunani — pun mengungkapkan bahwa idealisme adalah sebuah cita dan gambaran asli yang merupakan jembatan antara keadaan rohani dan jiwa yang ditangkap oleh panca indera lalu dileburkan dengan ide atau gagasan dengan hakikat kebenaran tertinggi.

Disini saya beropini bahwa sesungguhnya idealisme adalah manifestasi ide kritis dan merdeka dari suatu insan antara realita dan kondisi tujuan di masa depan. Singkatnya, melalui idealisme kita berpegangan dengan arah jalan dan melalui hal itu juga kita bangkit akan keterpurukan.

Bangsa Indonesia juga merdeka karena memiliki idealisme tinggi akan kehidupan suatu bangsa. Idealisme didukung dengan dogma agama, persamaan nasib, dan sistem kolonial membuat timbulnya keinginan untuk menuju hal ‘ideal’. Saya berpikir bahwa berarti Tuhan juga memberikan kita sebuah idealisme melalui cita-cita dan harapan untuk membuat kita semakin maju. Idealisme lah yang membuat kita percaya akan esensi kesuksesan dari kerja keras. Idealisme juga yang membuat kita berani untuk mengambil resiko dari segala tantangan dan rintangan dalam hidup.

Saya berpendapat bahwa idealisme kokoh hanya dapat berdiri jika memiliki tanah yang subur dan akar yang kuat. Analogi ini menggambarkan bahwa lingkungan yang menjadi ladang kita berpikir dan berdiskusi harus mempunyai kerangka yang optimal. Idealisme tidak akan tumbuh besar dan kuat jika hanya kalian yang membawanya tanpa sempat memberi ‘sapaan’ kepada idealisme-idealisme lain.

Idealisme perlu ditanam dalam-dalam pada akal, budi, dan iman supaya dalam keberjalanan tujuan dan visi misi, mereka yang membuntuti dari belakang. Bukan idealisme yang berubah sewaktu-waktu mengikuti kesempatan. Menurutku, Idealisme harus tetap teguh tidak berubah walaupun tujuan hidup kalian berbeda dari sebelumnya.

Idealisme yang tepat adalah peka dan bergerak dinamis terhadap pola pikir kalian masing-masing. Ia mencitrakan sebuah teka-teki yang perlu kesabaran dan ketelitian untuk mencapai kepuasan. Untuk itu, dalam membentuk idealisme diperlukan suatu pedoman hidup — guru atau buku — sebagai alat untuk kalian menerka dan menyimpulkan bagaimana sebuah idealisme yang ingin kalian tanamkan. Idealisme tidak berubah tetapi hanya berkembang menjadi resisten dan visioner terhadap sekitar.

Ideal-isme?

Disini saya ingin memberi sebuah metode berdasarkan hasil diskusi pikiran pribadi untuk membentuk bagaimana idealisme yang resilient akan kondisi apapun.

Pertama, tentukan kondisi ideal atau goals yang ingin kalian raih. Jadikan itu sebagai sebuah umpan untuk mencapai hakikat kebenaran tertinggi, seperti ujar Plato. Ideal berarti cita-cita, harapan atau fantasi terbaik yang ingin dilakukan. Pastikan tujuan ini bersifat bersih dan jernih supaya memudahkan langkah kedepan selanjutnya.

Kedua, tentukan kekuatan dan posisi kalian. Hal apa yang ingin kalian tawarkan kepada Tuhan dan antarmanusia untuk memberikan dampak bagi mereka. Kepada Tuhan mungkin dengan kalian mempercayainya dan memeluk agama sudah tergolong cukup. Kepada manusia bagaimana? diperlukan analisis diri apa yang kita bisa lakukan, kelebihan apa yang menjadi nilai jual dan sekarang dimanakah posisi kita. Hal ini membuat kita lebih bersiap diri untuk melawan segala arus yang menerpa setiap masalah pada diri.

Ketiga, tentukan strategi kalian. Penghubung antara kondisi ideal dan kekuatan adalah strategi. Idealisme juga memerlukan materi dan metode. Tidak langsung dimasak dan dimakan tanpa dicicipi. Perlu dilakukan kajian dan riset supaya strategi implementasi terhadap diri sendiri dan masyarakat sosial akan berjalan lancar dan koordinatif. Strategi harus bisa berkomunikasi dan mencerahkan setiap proses yang dilakukan. Manusia mengandalkan strategi untuk menebarkan benih-benih idealisme kepada sekitar — termasuk manusia lain.

Ketiga hal ini mendefinisikan idealisme untuk tetap bertahan dalam kondisi apapun.

Jika kita tarik kebelakang dari tulisan ini, saya sempat melempar pertanyaan kepada para pembaca sekalian. Saya sendiri ingin mencoba menjawabnya dengan kesoktahuan dan pengetahuan yang didapat selama 19 tahun hidup.

Tuhan menciptakan kita — manusia — atas dasar cita-cita apa?

Jawaban; untuk menjadi manusia yang benar-benar pemikirannya sebagai manusia.

Manusia dilahirkan dari proses hubungan antar manusia. Manusia satu menciptakan manusia lain. Berkembang menciptakan kemajuan hingga peradabakan karena kerja sama akal pikiran dan kepentingan bersama. Hal ini menyatakan bahwa sedari lahir kita sudah dimerdekakan oleh Tuhan sebagai sebuah makhluk.

Tuhan mempunyai hak kepada individu tiap-tiap dari kita. Kita sebagai ‘barang pinjaman’ tidak berhak menolak. Pembayaran yang kita lakukan adalah dengan pelaksanaan kewajiban. Bebas mendefinisikannya.

Manusia beragama, manusia sosial, manusia ideologi, manusia fasisme, manusia marhaen, dan manusia-manusia lainnya.

Asalkan tetap berazas akan adab sopan santun, akal pikiran, dan keimanan sehingga menjaga ketentraman umum.

Dengan begitu — secara tidak langsung — Tuhan menuntun kita untuk memiliki idealisme. Melalui idealisme, semua hal diatas dapat terwujud. Mandiri dalam menentukan hidup, tidak dalam sistem perbudakan atau tawanan, merdeka secara fisik dan mental serta mempunyai akal kritis.

Jikalau boleh saya simpulkan sebenarnya Tuhan menciptakan kita — sebagai manusia — atas dasar cita-cita untuk menjadi manusia yang memiliki idealisme.

Karena hanya melalui idealisme kita dapat menjadi manusia yang benar-benar pemikirannya sebagai manusia alias merdeka.

Manusia merdeka adalah manusia yang memiliki idealisme untuk selalu menjadi petualang kebenaran akan setiap cerita hidup yang ia tulis sendiri.

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda” -Tan Malaka.

Sekian.

Mochamad Fathur Hidayattullah

25 Juli 2020

02.05 WIB

--

--

No responses yet