Ibadah Rutin

Fathur Hidayattullah
5 min readJun 26, 2020

--

Potret sandal berserakan di sekitar teras masjid. Sumber: Pinterest.

Masjid Akbar. Nama ruang ibadah yang sering saya singgahi untuk bersembahyang. Tempatnya lumayan besar dan bertingkat. Hanya menggunakan kipas angin sebagai pendingin ruangan, tidak seperti Salman ITB. Mungkin sejak umur 6 tahun saya sudah pergi ke tempat itu. Kemudahan mobilisasi menjadi alasan utama saya kesana. Sebenarnya tidak ada yang mengagumkan ataupun berkesan pada tempat itu. Hanya kebetulan saya sering pergi kesana sebagai salah bentuk kewajiban umat beragama.

Semenjak saya pulang dari Bandung ke kampung halaman, saya tidak pernah melaksanakan salat Jumat. Hal itu karena suasana sedang tidak berpihak kepada kita. Situasi lingkungan masyarakat sedang bersedih — jelas karena COVID-19. Hal itu membuat saya melakukan segala aktivitas di rumah termasuk beribadah. Konstruksi ini dilakukan sebagai dalih mencegah penularan. Sempat timbul ketegangan di antara masyarakat dan aparat pemerintah daerah perihal pembukaan salat berjamaah. Semua lapisan memiliki ego masing-masing. Namun harus ada yang mengalah karena telah ada peraturan baru yang telah ditetapkan. Alhasil, kegiatan salat Jumat sempat berhenti selama satu bulan.

Perasaan umum menyelimuti tubuh saya; senang. Istilahnya, saya diberi dispensasi oleh Tuhan perihal salah satu kewajiban. Kemudahan dan kelonggaran sebagai akibatnya. Saya pun sebagai manusia awam turut bahagia. Saya tidak perlu menahan kantuk mendengar khotbah. Berjalan menuju masjid dibawah terik sinar matahari. Saya tidak munafik. Kemudahan itu yang saya rasakan. Maaf jika saya berdosa. Tetapi, memang begitu fakta dalam sanubari.

Lekas waktu terus berlangsung hingga sampai 30 hari. Hati merasa gunda gulana. Saya pribadi bukan merasa berdosa atau bersalah. Saya tetap melaksanakan kewajiban pengganti; salat fardu. Namun, perasaan saya seperti ada yang janggal. Saya tidak tahu apa yang merasuki tubuh dan pikiran, tetapi seakan tangan dan kaki ingin melakukan sesuatu saat jatuh pada hari Jumat. Anggapan karena kebiasaan adalah salah satu buah pikir saya. Lambat laun kondisi ini membuat asumsi liar bermunculan. Saya merasa harus ada yang saya lakukan untuk memperbaiki kondisi ini.

Hingga jatuh tepat hari ini. Jumat, 26 Juni 2020. Iklim sosial dan masyarakat berubah 180 derajat. Pemerintah daerah telah membuka tempat beribadah. Kegiatan salat Jumat dapat dilaksanakan kembali. Jiwa raga saya memaksa untuk segera mengikuti salat Jumat. Laksanakan seperti dirimu lakukan pada hari Jumat biasa. Saya pun bergegas kesana dan melaksanakan salat itu.

Setelah salat Jumat. Jujur, saya rasakan 2 hal; tenteram dan bahagia.

Hanya itu, tenteram dan bahagia. Tidak tahu kenapa alasannya.

Saya merasakan sesuatu yang menjadi kebiasaan dan terkadang menjadi wadah untuk mengeluh akan suatu kemonotonan kegiatan dapat menjadi suatu hal yang selalu dikenang dan menimbulkan sukacita.

Aneh bukan? tetapi begitulah realitanya.

Hal ini menjadi pemantik dalam benak dan pikiran saya bagaiman kondisi ini dapat terjadi. Bagaimana sesuatu yang selalu menjadi keluhan dapat menjadi suatu kerinduan. Seakan mereka melekat dan saling menghidupi satu sama lain. Kenapa kebiasaan yang kita kesalkan dapat menjadi penyejuk hati dikala rutinitas sudah terbatasi. Polemik ini menimbulkan tanda tanya dalam kepala maupun hati. Saya pun merenungkan, mengkritisi, dan akhirnya menarik kesimpulan.

Saya beropini bahwa salah satu esensi manusia untuk hidup adalah mencapai harmoni.

Harmoni adalah keserasian dalam menjalakan rutinitas kehidupan untuk mencapai keseimbangan hidup.

Harmoni adalah keselarasan antara kebiasaan dan kebutuhan.

Pandangan saya menyatakan bahwa sesuatu yang kita kerjakan baik yang kita suka ataupun tidak suka, akan ada pada suatu titik dimana kita merasa bahwa hal ini harus diterima dan dilaksanakan sebagai kunci untuk bergerak maju ke depan.

Saya rasa dalam segala kesibukan yang menimbulkan keluhan dan penyesalan, karena kita kurang memaknai proses yang terjadi. Akibatnya harmoni tidak dicapai pada hasil akhirnya.

Makanya sering timbul keresahan pada diri dan hati apabila kita mencoba menentang suatu agenda rutin yang kita lakukan. Percobaan memperbarui sebenarnya boleh saja. Berubah menjadi baik atau buruk itu jalan individu masing-masing. Namun, setidaknya di setiap agenda rutin yang dikerjakan terdapat proses memaknai yang tumbuh selaras dengan pemikiran kita. Akal akan berusaha mencerna dengan lahap bila kita terapkan metode ini.

Contoh sederhana yang terjadi pada diri saya adalah kehidupan perkuliahan. Dahulu saya sering mengeluhkan perihal tugas, kegiatan organisasi, kepanitiaan, proyek kuliah, aksi angkatan dan lain sebagainya yang menimbulkan beban bagi diri. Saya merasakan lelah yang luar biasa hebat. Baik fisik dan mental terkuras habis. Ingin rasanya kembali ke zaman sekolah. Terlintas cepat dalam pikiran mengenai mimpi sederhana.

Mimpi sederhana; libur kuliah.

Tuhan memang baik kepada saya. Dikabulkan doa kepada hambanya yang prasangka buruk ini. Kejadian pandemik membuat perkuliahan libur panjang. Mungkin hingga akhir tahun. Keadaan yang awalnya ceria karena libur berubah menjadi hampa seiring rasa bosan dan konstan menghantui rutinitas sehari-hari. Ingin rasanya berkuliah kembali, bertatap muka di kelas dengan dosen — walaupun terkadang tidur — mempelajari mata kuliah baru. Bercengkrama dengan teman-teman kampus perihal isu politik terkini hingga gosip selebriti. Sesederhana itu. Keluhan yang saya camkan dalam pikiran berubah menjadi kerinduan yang tumbuh pada jiwa. Bermekaran dan berbunga memanggil insan untuk segera sirami dengan jalinan interaksi sederhana antarmanusia.

Pada dasarnya harmoni memang dibutuhkan untuk mencapai esensi manusia dalam hidup. Memang ganjil, apabila kita kekurangan kita mengeluh. Apabila kita kelebihan, kita juga mengeluh. Memang harus harmoni yang dibutuhkan. Sampai sekarang pun saya bingung bagaimana mencapai harmoni. Saya masih belajar untuk mencapai keadaan itu. Tetapi saya mempunyai langkah awal untuk mencapai harmoni. Ini hanya opini saya. Bisa salah bisa benar. Namun, semoga benar.

Kembali beropini, langkah awal yang dapat dilakukan untuk mencapai harmoni adalah bersyukur.

Bersyukur adalah bentuk interaksi berupa ungkapan terima kasih kepada Tuhan.

Bersyukur adalah sarana aktualisasi diri pertama terhadap kegagalan ataupun kelemahan atas usaha yang kita lakukan.

Sebetulnya perihal bersyukur itu sederhana. Intinya hanya berterima kasih kepada diri sendiri dan Tuhan. Saat kau telah menerima dan memaafkan kekurangan serta kegagalanmu, berarti kau telah bersyukur. Yakini bahwa Tuhan itu Maha Adil. Yakini bahwa ia mempunyai rencana kesuksesan masing-masing bagi hambanya. Itu kunci dasar dalam bersyukur. Di saat kita telah mengetahui diri kita yang sebenarnya. Sebaiknya langkah awal adalah bersyukur. Berterima kasihlah kepada Tuhan karena menjadikan manusia untuk hidup karena ia yakin kita bisa mencapai harmoni. Tidak sembarang makhluk bisa dibebankan amanah seperti ini. Kita dipercaya bisa. Bersyukurlah!

Sarana aktualisasi diri pertama adalah bersyukur.

Aktualisasi diri adalah keinginan seseorang untuk memanfaatkan semua kelebihan diri mereka untuk mencapai tujuan.

Jikalau memang terjadi kegagalan dan kesalahan atas usaha mereka. Menurut saya, aktualisasi diri pertama yang harus dilakukan adalah bersyukur karena hal ini menandakan bahwa kita adalah pembelajar dan bertanggung jawab. Karakter ini harus ditancapkan dalam-dalam pada ambisi supaya menjadi suatu keunggulan. Bersyukur berarti kita percaya bahwa langkah ini adalah progres. Entah langkah selanjutnya akan gagal kembali, namun kepercayaan akan bersyukur akan menjadi motivasi untuk selalu belajar dan bergerak.

Akhirnya kita sampai di penghujung cerita.

Saya percaya bahwa seberat apapun beban kalian, sesibuk apapun agenda kalian, secapek apapun kegiatan kalian. Yakinilah bahwa esensi kita adalah mencapai harmoni untuk hidup.

Harmoni menjadi asas kita berpikir dan bertindak untuk menjadi manusia sesungguhnya.

Harmoni menjadi dasar bagi kita untuk memaknai proses demi proses dalam setiap tujuan yang kita lakukan.

Langkah awal yang dapat kita lakukan untuk mencapai harmoni adalah bersyukur.

Bersyukur harus menjadi fondasi dasar untuk membangun rumah kebebasan bagi kita untuk menghilangkan segala keraguan dan keluhan dalam setiap kebiasaan dalam rangka mencapai harmoni hidup.

Hakikat manusia untuk hidup adalah mencapai harmoni dan kuncinya melalui bersyukur atas takdir, dosa, dan masa depan.

Sekian.

--

--

No responses yet