Hilirisasi Mentalitas dan Intelektual

Fathur Hidayattullah
3 min readMar 2, 2024

--

Photo by Daniele Franchi on Unsplash

Ketidakpastian dunia berhasil memaksa manusia untuk mengikat kebodohan dalam tubuh fisik tak berdaya itu. Sempat terpikir bahwa adaptasi sudah hilang dan akal sudah rusak sehingga terjadi kemunduran cara berpikir untuk menalarkan segala sesuatu yang terjadi. Kesulitan untuk memberikan tafsir karena ketidakmampuan diri untuk memetakan peristiwa secara runtut dan rasional benar-benar telah terjadi sekarang.

Langit Sarinah dengan yang megah dengan iringan suara rintik hujan nan merdu memberikan nubuat kepada pemikiran bahwa takdir yang dijalani hanya mampu berubah saat intelektual yang dimiliki sudah matang.

Intelektual mencakup kemampuan untuk mengelola informasi dengan pengetahuan yang dimiliki, emosional yang dilatih, dan mentalitas yang dibentuk karena usaha dan keyakinan.

Pemikiran saya menyatakan bahwa Tuhan tidak akan pernah salah menempatkan takdir setiap makhluknya— alasan tertentu yang hanya diketahui oleh-Nya. Pemikiran tersebut menyebar ke dalam konsep intelektual yang saya yakini.

Setiap tindakan yang dilakukan dalam diri membutuhkan kemampuan intelektual yang matang untuk mengambil sebuah keputusan. Kehati-hatian dengan bekal wawasan yang luas akan menciptakan pertanyaan; bagaimana sistem bekerja, bagaimana mereka-mereka berinteraksi, bagaimana keputusan diambil dan ‘bagaimana-bagaimana’ lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah bukti kita mengasah intelektual ini dengan ketekunan untuk memahami sebab-akibat yang terjadi pada situasi disekitar kita. Kepercayaan saya menjadi semakin padu saat saya merasa bahwa manusia tidak akan bisa selamanya bergantung hidup kepada orang lain. Pada saat kondisi tertentu nantinya, hanya kita yang mampu menolong diri kita sendiri. Setiap individu akan punya ego dan kepentingan mereka masing-masing yang mungkin tidak sepaham dan berbenturan dengan ego dan kepentingan kita.

Oleh karena itu, intelektual yang matang karena selalu terasah dengan realita masalah kehidupan yang dialami akan menciptakan kemampuan adaptasi kuat dan sifat agile yang cepat.

Mengasah intelektual harus dipatrikan dalam pemikiran bahwa kita sepenuhnya makhluk bodoh — tak tahu apa-apa. Makhluk yang harus terus belajar untuk mampu menguasai dunia atau cita-cita yang kalian miliki. Pemikiran ‘bodoh’ tersebut apabila dibentukan dengan tujuan yang jelas maka akan menciptakan kekuatan baru yang bernama disiplin.

Percayalah kawan, intelektual yang matang dan kuat hanya mampu diciptakan dengan konsistensi tujuan dan disiplin tindakan.

Pemikiran harus dipelihara dengan tujuan yang jelas sehingga akan memberikan instruksi kepada seluruh bagian tubuh untuk menciptakan keadilan dalam berupaya; khususnya konsisten dan disiplin.

Sekali lagi, intelektual adalah manifestasi kesuksesan yang mendorong individu untuk selalu berkembang dan menciptakan nilai dalam dirinya.

Ketika hidup dilanda ketidakpastian dan persaingan yang kompetitif, maka juru selamat yang bisa diandalkan adalah intelektual yang matang dalam melihat seluruh kondisi dan situasi yang terjadi disekitar.

Berbicara intelektual tidak akan sempurna apabila kita tidak memberikan asupan gizi seimbang bagi jiwa suatu individu, yaitu sebuah mentalitas.

Mentalitas adalah kepercayaan yang padu karena memiliki dasar keinginan yang jelas.

Mentalitas adalah kemahiran dalam merekayasa jiwa untuk selalu positif dalam menerka.

Mentalitas adalah kekuatan untuk bertahan hidup.

Intelektual membutuhkan mentalitas yang saya sebut ‘ksatria’ untuk membuat performa intelektual selalu berada di posisi terdepan, tidak pernah lelah dan siap menghantam semuanya.

Mentalitas mampu menciptakan akselerasi bagi kematangan intelektual dalam menjalani kehidupan. Saat manusia tidak memiliki apapun — bahkan termasuk intelektual itu sendiri — maka satunya-satunya yang secara naluri dimiliki oleh setiap manusia dengan kuat adalah mentalitas.

Ketika mentalitas bertahan hidup diaktifkan dengan penjagaan moral dan norma, maka itu menjadi motor penggerak yang tiada henti untuk membentuk kehidupan yang lebih sejahtera.

Ia — mentalitas — akan mematahkan rasa capek, rasa kesal, rasa malu dan bahkan perasaan ketidakadilan dunia.

Mentalitas tidak mengenal perasaan manusia yang membuat manusia merasa lemah terhadap dirinya sendiri. Ia — mentalitas — mendegradasi semua manipulasi itu. Hal ini karena mentalitas tidak percaya akan sesuatu yang menghambat atau bahkan ketidakberhasilan bagi seorang manusia.

Semua mampu dilakukan asalkan kepercayaan, disiplin dan mentalitas disatukan.

Hilirisasi mentalitas dan intelektual adalah sebuah kewajiban bagi kita semua, khususnya anak muda yang sedang merasa ketidakadilan dan kecemburuan akan mekanisme jalannya dunia.

Hilirisasi yang tepat untuk manusia adalah melahirkan mentalitas ksatria dan mematangkan intelektual yang kuat. Penambahan nilai tersebut akan membuat manusia menjadi produk jadi yang mampu bersaing dengan masyarakat global.

Jangan pernah salahkan Tuhan mengatur mekanisme jalannya dunia. Persoalannya hanya bagaimana kita menggunakan sudut pandang untuk menafsirkan sesuatu yang terjadi pada diri kita.

Ketika mekanisme jalannya dunia yang kita rasakan sekarang terasa seperti janggal, maka itu sebuah tanda bahwa kita sudah perlu melakukan hilirisasi pada mentalitas dan intelektual supaya kita tidak menjadi,

“Tua sebelum kaya”

Mochamad Fathur Hidayattullah

Jakarta, 02 Maret 2024

12.05 WIB

--

--