Dialektika Kamar Tidur

Fathur Hidayattullah
4 min readAug 2, 2020

--

Sebuah tempat peristirahatan pertama, mungkin terakhir.

Sebuah nubuat hasil pemikiran dari seorang manusia, kupersembahkan! Masih berumur muda secara fisik yang ditinjau dari parameter abad modern. Masih belia dalam melahap ilmu pengetahuan eksak. Masih terus belajar dan belajar.

Mencoba menciptakan sebuah karya berupa tulisan yang memiliki ‘jiwa’ sehingga kalian semua — para pembaca — berhak untuk membuat interpretasi pribadi.

Hak aku untuk menyampaikan dan hak kalian untuk mendharmakan.

Dialektika Kamar Tidur

/Fragmen 1; Realitas/

Sepi senyap dan gelap gulita merasuki seisi ruangan tempat aku berada. Aku disini akan melahirkan seorang anak. Anak yang kubuat melalui tulisan-tulisan kekesalan dan kepasrahan terhadap dunia dan takdir. Tanpa lantunan azan seorang ayah dan rintihan tangis seorang ibu. Lahir sendiri ditemani bantal, guling, dan selimut.

Ruangan tempat aku berbaring dan menghela nafas. Anakku masih mencari jiwa, masih berkeliaran sana sini. Seisi ruangan terlimitasi karena dinding warna-warni, dengan keunikan dan kemewahan masing-masing.

Merah, Biru, Hijau, dan Hitam. Seolah mereka berbaur dan berinteraksi untuk menghiasi ruangan menjadi wahana kebahagiaan manusia. Aku mencari keheningan disetiap detik berjalan. Percuma.

Sudah kukatakan “Janga dicari, coba diresapi lalu dipikirkan matang”.

Melihat rombongan mobil artis dari balik jendela hanya menjadikan hati tertunduk malu. Aku menasehati anakku supaya berlaku jujur dan adil. Apadaya orde mencapai strata sosial tertinggi sudah berubah. Buku Falsafah Hidup karya Buya Hamka akan membuatnya tersadar akan praktik sistem dunia yang ideal.

Sebelah kanan. Kasur memanggil anakku untuk bermain. Permainan ‘Pelacur Kota’ dinamakan. Menjual diri kepada khalayak umum untuk mencari kepuasan dan kebahagian. Jual diri itu paling murah. Jual kemanusiaan itu lebih hina. Tidak ada beda antara mereka dan binatang tak berakal.

Sebelah atas. Lampu murka dengan langit-langit kamar. Baik diantara mereka sama-sama mengaku dekat dengan Tuhan. Lampu optimis dengan cahaya terang benderang. Langit-langit kamar tangguh dengan keelokan mozaik kristal berbahan material langka.

Aku hanya melihat dari bawah sambil menahan tawa. Tuhan tidak butuh kalian seperti itu. Ia hanya butuh perbuatan bukan pengakuan. Pengakuan sudah kalian lakukan sejak kalian ada. Logika itu yang harus dikejar.

Arah depan. Anakku buta dalam firasat, juga ilmu mantik. Bimbingan paling besar didapat dariku. Aku tidak punya ilmu apa-apa. Hanya kepiawaian melakoni hidup yang bertahan hingga sekarang. Jangan kau sesali keadaanmu. Kamar yang kau tempati masih terlalu sempit untuk kau singgahi.

Batasan harus kau perlebar atas dasar adab dan sopan santun. Bergerak maju diprakarsai atas dasar mencari tahu bukan berlagak ‘sok’ tahu. Berilmu dengan guru yang mengamini semua perilaku kemanusiaan. Berpikir atas nama kebenaran dan fakta bukan kepentingan.

/Fragmen 2; Silsilah/

Aku akan menceritakan sebuah kisah yang bisa kau gali sendiri makna di dalamnya.

Ketabahan Ibrahim menjadi tolak ukur ujian yang harus diterima oleh setiap manusia walaupun tidak harus setingkat beliau.

Keyakinan Ismail menjadikan teladan untuk selalu yakin atas sumber yang kau yakini atas dasar iman, indera, dan logika.

Mahakarya Tan Malaka atas wawasan cara berpikir mengenai kebangsaan haruslah diapresiasi bukan untuk dikebiri atas nama demokrasi. Anakku karya yang kau buat kelak akan merefleksikan semua tokoh yang kau impikan.

Ruang kebebasan nyata harus diberi supaya kejadian Louis XVI dan guillotine tidak akan pernah ada di era modern.

Liberté, égalité, fraternité. Semboyan kaya akan relevansi hingga abad ini.

Konsep ideologi Karl Max dan diteruskan Lenin hingga fasisme-Mussolini harus kau pelajari. Bukan untuk dilakukan, tetapi untuk dipelajari kelemahan dan keunggulan. Sesuatu atas nama rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Kesejahteraan menjadi kunci prestasi suatu negeri. Pelajari, amati, dan perbarui.

Mochtar Lubis pernah membuat karakteristik Manusia Indonesia dengan segala kerendahan yang kita alami. Suka tidak suka sebagian masih mengalir di dalam darah. Operasi kelakuan dan pikiran dengan sesuatu yang baru dan manjur. Bukan hal tabu dengan dalih globalisasi dan free will.

Indonesia Menggugat buah pemikiran Soekarno menjadi contoh langkah nyata melawan ketidakpatuhan terhadap rezim negeri. Aku tidak menyuruh kau untuk lantang berorasi. Ataupun melakukan demonstrasi membentuk parlemen jalanan untuk mencari suaka keadilan rakyat. Lakukan apa yang kau bisa lakukan melalui seluruh kemampuan diri. Jangan malu untuk bergerak. Jangan takut untuk dikekang. Kemudaratan akan selalu kalah.

Aristoteles menyebut manusia adalah binatang politik. Bagiku, kita bukan binatang politik tetapi kita adalah politik. Kita adalah penggambaran secara mahsyur dan kongkret bagaimana politik itu berjalan dan berhasil. Aku harap kau punya pemikiran politik sendiiri yang kau bangun melalui analisis dan opini pribadi.

Aku ingin kau, wahai anakku selalu membuka mata walaupun buta. Selalu mendengar walaupun tuli. Selalu merasa walaupun mati. Hidupmu di kamar tidur kelak akan menjadi sebuah istana megah dan abadi untuk dinikmati dengan orang-orang disekitarmu.

Tuhan mencintaimu sebagaimana Dia pertama kali menciptakan Adam untuk memimpin dunia dan beribadah kepada-Nya.

Aku menyayangimu dengan segenap tulang-tulang yang menyatu dengan kulit tubuh dan segenggam roh yang ditiupkan pada jasadku.

Aku akhiri dialektika ini dengan doa tidur untuk terbangun keesokan hari.

Mochamad Fathur Hidayattullah

02 Agustus 2020

21.32 WIB

--

--

No responses yet