Budaya Merasuk Sebagai Dogma.
Dimana bumi dipijak maka disitulah langit dijunjung
Peribahasa diatas mungkin sudah terdengar tidak asing di telinga kita. Guru Bahasa Indonesia semasa sekolah dasar mungkin selalu menanyakan hal itu sebagai salah satu soal ujian. Tidak pernah disangka bahwa kalimat itu memantik saya untuk menulis tulisan sekarang ini. Memang hebat tuhan mengatur segala yang kita pelajari untuk dipikirkan kembali sebagai bentuk pembelajaran dalam hidup.
Ungkapan tersebut memiliki arti bahwasanya dimanapun kalian tinggal, berdiam diri maupun hidup maka kalian harus menghormati dan mengikuti adat istiadat, budaya, serta nilai-nilai yang hidup pada tempat tersebut. Bangsa Melayu sangatlah pandai dalam memainkan cara untuk hidup bermasyarakat dan mendoktrin supaya setiap pemikiran orang memiliki prinsip dan tindakan yang sama. Melalui kalimat itu, saya berusaha menerjemahkan kejadian yang baru saya alami dalam proses menjadi manusia yang berintegritas akan intelektual.
Sebenarnya tidak ada yang salah terhadap ungkapan itu, toh orang zaman dahulu bisa tetap bertahan hidup dengan membawa pemaknaan itu. Namun, entah mengapa timbul keraguan dalam benak. Merasa bahwa perlu ditambahkan beberapa kalimat supaya pemaknaannya tetap bisa relevan di era sekarang. Mungkin bisa diselipkan ‘syarat dan ketentuan berlaku’.
Mengapa demikian? Mari kita bahas!
Budaya baik itu adat istiadat dan nilai-nilai yang hidup bersama masyarakat merupakan pandangan hidup dalam menjalani kehidupan dalam kerangka sebagai manusia sosial. Budaya memang bisa menyatukan semua pemikiran, pergerakan, dan stigma sosial supaya terintegrasi dalam satu kekuatan. Budaya mampu memberikan keyakinan untuk seseorang sehingga ia bisa selalu berjalan dalam menggapai cita ataupun belajar untuk memperbaiki diri.
Budaya yang usianya sudah tua, yang sudah mengakar di masing-masing hati dan jiwa seseorang, yang tumbuh menjalar dalam setiap lini kehidupan masyarakat akan sulit untuk ‘direvisi’ sekalipun tujuan perubahan itu baik.
Keidealan akan kenyamanan dan perasaan sudah kuat yang didasari atas nama budaya terkadang membuat kita bias bahkan acuh untuk mencari tahu apakah hal itu masih tetap layak untuk dimaknai, dilaksanakan, atau bahkan sekedar untuk didiskusikan. Budaya tercipta karena manusia membutuhkan tolak ukur dan budaya juga yang membuat manusia tercipta dengan pemikiran sempit. Inilah yang menjadi paradoks umat manusia, bagaimana bisa sesuatu yang kita buat untuk tuntunan jalan malah menjadi lubang sehingga membuat kita terjatuh dan terkadang mati sampai kita tidak tahu bahwa kita sudah mati.
Mengilhami sesuatu yang kita percayai untuk dijalani itu sangatlah baik. Lebih baik lagi jikalau kita meragukan terlebih dahulu, bertanya, berdiskusi, mengkaji dan mencari kesimpulan atas sesuatu tersebut. Budaya tidaklah seharusnya menjadi penjara bagi pemikiran kita untuk merdeka atau sekedar merefleksikan tujuan untuk berpikir rasional. Keputusan untuk meragu dan bertanya akan suatu budaya yang kita jalani itu adalah bentuk penghargaan tertinggi bagi kalian yang hidup di lingkungan tersebut.
Bukankah setiap revolusi akan ada suatu penolakan?
Bukankah setiap perubahan akan selalu ada perlawanan?
Begitupun budaya yang kalian yakini dan jalani sekarang. Terlepas siapa yang benar dan salah, tugas kalian hanya meyakini diri kalian sendiri sebagai orang yang hidup berdasarkan akan hal itu.
Syarat dan Ketentuan Berlaku!
Ketakutanku hanya satu. Budaya yang selalu kita pijak dan junjung harganya ini lambat laun berevolusi menjadi sebuah dogma. Hal inilah yang membuat saya takut karena akan membuat kita buta sehingga tidak dapat dibedakan lagi mana yang benar atau salah, mana yang menjujung kepentingan orang banyak atau kepentingan golongan tertentu. Sungguh sudah rusak seorang manusia bila kemampuan berpikir secara akal sudah dirusak oleh dogma.
Budaya yang sudah tidak dapat terbantahkan akan kekuatannya adalah dogma. Manusia yang mencintai sesuatu tanpa alasan, melaksanakan apapun tanpa tujuan, dan membela tertentu tanpa keinginan.
Hidup di tempat apapun, berkegiatan di organisasi manapun, dan belajar dengan siapapun harus tetap menghargai dan menghormati budaya dan nilai yang terkandung, namun bukan berarti malah kita meragukan untuk setiap perubahan. Bukan berarti kita menghilangkan suatu kebenaran.
Lantas, bagaimana supaya dapat bertahan ataupun merubah?
Tidak ada langkah kongkret yang bisa ditawarkan untuk hal ini. Hanya mungkin kesatuan visi dan tujuan serta basis massa yang loyal sehinga dapat mempertahankan eksistensi kita sebagai manusia merdeka atau bahkan menciptakan suatu perubahan.
Satu hal lagi, jikalau pun harus tetap merubah maka beradaptasilah, kuatkanlah, dan tunjukkanlah dalam suatu tempat itu. Merubah bisa dilakukan dengan mempengaruhi orang-orang yang terdapat di dalamnya, bukan dengan merubah sistem yang hidup mengakar disana. Sistem adalah tatanan kaku yang dibuat oleh manusia untuk mempermudah manajerial kelompok, sehingga apabila terdapat keinginan untuk merubah maka ubahlah orang-orangnya.
Suatu budaya yang hidup besar dan mengakar itu tetap bisa bertahan karena orang-orangnya peduli dan mencintai hal itu.
Tantangannya sekarang, bisakah kalian bertindak sebagai orang ketiga dalam hal ini?
Menyelingkuhi ‘sesuatu’ yang mungkin dianggap tabu oleh orang-orang.
Demi mencegah suatu budaya yang merasuk sebagai dogma dalam kehidupan sosial setiap manusia yang hidup di tempatnya masing-masing.
Mochamad Fathur Hidayattullah
Surakarta, 18 Februari 2021
18.55 WIB