Budaya Menghakimi

Fathur Hidayattullah
3 min readMay 15, 2020

--

Sumber: vsco.com

Sempat heboh beberapa pekan lalu kasus youtuber, Ferdian Paleka prank sampah kepada transpuan di Kota Bandung. Perilaku itu tidak dapat dipungkiri adalah kelakuan biadab sebagai manusia yang tidak punya perasaan sesama insan makhluk Tuhan. Manusia sudah seharusnya untuk saling membantu dan merendah disaat sedang dilanda masalah. Bukan dengan bermain kekonyolan ditengah musibah. Hal itu hanya menambah isu kebodohan kita sebagai manusia akibat musibah pandemi ini. Namun yang menjadi perhatian saya selanjutnya kasus setelah tertangkap. Korban terkena perudungan di lapas tahanan yang mereka tempati oleh narapidana lain. Hal itu membuat saya sangat miris. Kenapa kita selalu melakukan Budaya Menghakimi?

Budaya menghakimi seolah-olah sudah menjadi darah daging bagi kita. Hidup di negara ini harus mempunyai ego yang paling benar supaya menang. Orang yang salah layak dibungkam dan dipersekusi hingga tak berdaya. Padahal korban telah mendapatkan sanksi sosial bahkan sanksi hukum yang setimpal. Lalu, kenapa harus ‘menghakimi’ lagi?. Apakah dengan menghakimi sudah pasti orang akan bertobat dan berubah?. Alih-alih demikian, hal itu hanya menimbulkan trauma dan dendam yang sifatnya kontinu. Budaya menghakimi itu tidak memanusiakan manusia, sungguh memprihatinkan. Sikap itu mencerminkan kita sebagai manusia yang tidak memiliki moral dalam menghargai dan berpikir rasional. Jikalau harus melalui persidangan di mata Tuhan, saya yakin Tuhan menjatuhkan tuntutan yang sama terhadap mereka tanpa membedakan siapa yang pertama dan benar; semua sama. Tuhan tahu manusia mempunyai akal untuk berpikir secara logis dan benar, namun perilaku itu hanya membuat seperti layaknya makhluk ciptaan-Nya yang lain.

Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi di negara kita. Pastilah muncul pertanyaan “Kenapa budaya seperti ini masih bisa bertahan dan eksis?”. Mungkin jawabannya hanya ada 2; kesenangan dan dendam. Pada dasarnya manusia berbuat sesuatu karena hal yang mereka butuh dan sukai. Jika dilihat, jelas perilaku itu tidak dibutuhkan oleh manusia, melainkan hanya sebagai bentuk salah satu kesenangan semata. Manusia memiliki sifat serakah dan tamak, tidak pernah puas dan selalu harus menjadi yang pertama dan berkuasa. Adab itu melekat dalam diri sebagai bentuk melampiaskan apa yang mereka tidak dapat gapai dalam cita-citanya. Kesenangan akan didapatkan saat melihat korban menderita dan meminta ampun ataupun pertolongan kepada mereka. Seakan-akan menjadi Tuhan yang mampu memberikan kesembuhan bagi hambanya. Sifat ini muncul saat rasa belas kasih sudah mati akibat dibunuh dendam. Dendam hanya muncul saat kita diterpa memori menyakitkan atau membekas baik secara mental ataupun ingatan. Dendam tidak dapat dibersihkan dengan hanya bersalaman lalu diiringi ungkapan ‘maaf’.

Dendam itu kuat.

Dendam itu amarah.

Dendam itu manusia.

Manusia memang selalu dendam terhadap siapapun. Terlepas itu benar atau salah, manusia akan selalu mencari dendam untuk kesenangan. Sejujurnya, manusia hidup hanya untuk itu. Kita terkadang lupa esensi manusia hidup di dunia ini; berpikir dan beribadah (bagi umat beragama). Berpikir timbul karena kita mencari tahu bagaimana sesuatu dapat terjadi. Kita menimbulkan dendam terhadap apa yang Tuhan ciptakan. Disaat sudah mengetahui alasannya, barulah kita mencari tahu kesenangan akan hal itu sebagai manusia. Sungguh hebatnya manusia. Makhluk yang hanya ada jika berpikir melalui rasa dendam terhadap sesuatu sebagai bentuk pelampiasan akan kesenangan yang dituju.

Teka-teki permainan Tuhan lambat laun akan dipecahkan satu persatu. Namun, problema itu akan terus bertambah dan tidak akan pernah usai. Jelas jawabannya karena satu hal; manusai kodratnya tidak akan pernah melawan penciptanya.

Sekian.

--

--

No responses yet