Berpikir, Berani, dan Bersuara

Fathur Hidayattullah
3 min readJun 21, 2021

--

“Bulb”, Photo by Didssph on Unsplash

Tepat pukul 23.59 WIB, sebelum memasuki kamar mandi. Tidak tahu asalnya darimana sebuah nubuat masuk ke dalam alam pikiran. Merusak alur berpikir yang ingin saya gunakan untuk membersihkan tubuh. Sebuah ide hadir atas tulisan yang mulai saya ketik dan kalian lihat sekarang. Menyebalkan namun melegakan.

Perjalanan hidup yang teritung masih — teramat — muda untuk melahirkan sebuah intisari kehidupan. Tetapi, ungkapan ini benar didapatkan atas pengalaman dan kemampuan observasi diri untuk melihat segala lika-liku keabnormalan ataupun keunggulan dari suatu individu secara subjektif. Terutama memasuki masa perkuliahan, saya sering sekali terindoktrinisasi akan orang-orang yang memiliki wawasan yang luas baik secara keilmuan ataupun pengetahuan umum dan orang-orang yang dapat menyampaikan serta menjelaskan hal-hal tersebut secara baik dan mudah dipahami oleh semua orang.

Keahlian tersebut membuat saya menduga bahwa hal tersebut adalah anugerah dari Tuhan yang diperuntukkan kepada hamba-hamba-Nya yang beruntung. Seiring berjalannya waktu, ternyata saya salah. Kunci jawabannya sederhana, yaitu membaca dan menulis. Hipotesis yang saya berikan ini memang tidak sepenuhnya benar, tetapi setidaknya atas apa yang saya tanyakan terkait pertanyaan yang terkait mereka menjawab demikian.

Kesimpulan yang harus digarisbawahi adalah membaca untuk memperkaya wawasan sedangkan menulis untuk mengaktifkan wawasan itu secara pasif.

Kedua perlakuan tersebut — membaca dan menulis — adalah paket premium yang menurut saya harus menjadi sebuah kebutuhan seperti halnya agama. Bukan lagi sebuah kebiasaan, tetapi kebutuhan yang seolah-olah apabila kalian tidak melakukannya maka kalian akan mati.

Memang terdengar sedikit hiperbola, tetapi sejauh apa yang saya lakukan sekarang benar-benar terasa perbedaan dan energi positif yang hidup di tubuh dan pikiran serta mental kita sebagai manusia.

Sejujurnya, kritis dan wawasan yang luas adalah keahlian yang dibentuk melalui hal-hal yang dilakukan berulang kali. Kritis dan wawasan bukan suatu bakat yang turun ke bumi dan diberi kepada manusia-manusia pilihan. Hanya dibutuhkan ketekunan dan kerja keras maka lahirlah adimanusia yang paling minimum layak untuk berpikir secara luas dan rasional.

“Hammer”, Photo by Markus Spiske on Unsplash

Konsep pemikiran yang terpikirkan setelah itu adalah saya melihat banyak sekali hal-hal disekitar saya yang sangat dipengaruhi oleh kata sifat ‘berani’ dalam perubahannya.

Misalkan saja, dalam sebuah musyawarah angkatan yang bagaimana opini pemenang dalam mufakat angkatan itu sangat bergantung pada orang-orang yang berani atau istilahnya vokal dalam berpendapat. Terlepas dari opini itu benar atau salah tetapi langkah awal yang mereka lakukan pertama kali adalah dengan berpendapat.

Perlakuan tersebut apabila dilakukan berulang maka secara tidak sadar akan mempengaruhi progres berpikir tiap-tiap orang yang mendengarkannya. Baik itu melalui kepuasan logika, kesesatan berpikir, ataupun gestur berbicara. Beberapa variabel tersebut turut mempengaruhi dari kesepakatan yang diambil dalam sebuah musyawarah angkatan yang dilaksanakan secara jamak.

Mufakat yang disepakati belum tentu benar secara teoritis ataupun praktikal, tetapi karena disebutkan dan didorong berkali-kali seperti dicecoki minuman keras maka mabuklah pula orang-orang yang mendengarkan tersebut. Mereka terbius dalam keadaan sadar akan hal-hal yang mereka sepakati dan jalani.

Sebuah anomali yang sering terjadi pada keberjalanan suatu masyarakat.

Kesimpulan dari hal ini; mereka yang berwawasan luas dan kritis, berintelektual tinggi dalam pikiran akan menjadi sia-sia jikalau tidak berani bersuara dan berpendapat untuk meyakinkan orang lain.

Suatu pemikiran yang baik dan logis tidak akan bergerak secara aktif apabila hanya diselemuti sendiri di dalam kepala. Bersembunyi malu tidak keluar kemana-mana. Ide/opini/pemikiran tersebut harus keluar, bergerak liar, dan menerkam secara aktif pemikiran-pemikiran orang lain. Barulah ia dapat menciptakan sebuah perubahan yang berdampak dan disepakati bersama.

Inilah sebuah seni paling elegan dan sederhana yang mampu dimiliki setiap manusia.

Seni untuk menjadi manusia yang luhur dan berinsaf akademis melalui kolaborasi dari membaca dan menulis lalu disajikan dengan keberanian untuk bersuara kepada orang lain.

Berpikir adalah realitas awal yang kebenaran dan keyakinan hakikatnya hanya dimiliki oleh satu orang penuh yaitu diri kalian sendiri. Tidak akan dipenjara ataupun diadili oleh manusia lain.

Berani adalah realitas tengah yang menjadi motor penggerak untuk melahirkan suatu tindakan supaya ‘berpikir’ dapat menguat dan berkedudukan tinggi di keadaan nyata.

Bersuara adalah realitas akhir yang merupakan perpaduan dari ‘berpikir’ dan ‘berani’ yang hadir untuk menciptakan suatu perubahan pada maksud & tujuan yang dijalankan.

Sekian.

Mochamad Fathur Hidayattullah

Palembang, 22 Juni 2021

Pukul 01.13 WIB

--

--

No responses yet