Alur Maju Mundur

Fathur Hidayattullah
2 min readJun 19, 2021

--

Photo by Denise Jans on Unsplash

Berkelana menyusuri ruang imajinasi untuk memberkati daya pikir yang sudah usang akibat waktu berlibur yang terlampau membosankan. Hari ini berita-berita masih seputar pandemi, pelanggaran HAM, digitalisasi, dan kekisruhan konflik kepentingan — politik tentunya. Hambar tak berasa. Begitu saja roda kehidupan. Indeks prestasi yang sudah keluar pada kolom penilaian juga tidak memberikan gelora apa-apa — padahal (cukup) memuaskan.

Hari ini pun saya tiba-tiba menangis. Sendiri di kamar mandi karena meratapi kesusahan hidup yang tidak bisa diceritakan. Satu jam kemudian saya bahagia kembali karena kiriman paket datang berupa buku Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan. Cerita-cerita seperti ini sering terulang dalam hidup saya. Tidak tahu disebabkan oleh apa dan berdampak apa terhadap diri. Namun dari sini saya mengambil kesimpulan bahwa:

Hidup memang bak lakon drama.

Perihal perasaan sudah diatur dan ditentukan setiap detiknya. Seakan kita berusaha merekayasa segala andil dalam pilihan hidup namun sia-sia. Kita berusaha untuk memberikan suatu potret perlakuan untuk perasaan dan pikiran yang berkesan dan akan hidup selama-lamanya di memori kita. Padahal semuanya sudah diatur oleh yang berhak mengatur. Keinginan untuk menjadi terbaik dalam setiap langkah adalah naluri manusia seutuhnya. Berbelok ke arah kanan atau kiri hanyalah sebuah fase yang nantinya akan dialami oleh tiap-tiap dari kita. Bermodalkan firasat dan pengalaman serta wejangan dari yang lebih tua mungkin dijadikan pedoman dalam merintis.

Kita sering menyalahkan keadaan kenapa terlahir seperti ini, dalam kondisi seperti ini, atau bahkan harus menerima hambatan seperti ini. Hal-hal tersebut sebenarnya menurut hemat saya hanyalah bentuk tantangan untuk ditaklukan bagi diri supaya menjadi sesuatu yang lebih besar dan kuat. Bukan untuk menjadikan kalian terlihat lemah atau jatuh terpuruk. Pemikiran itu hanya bisa digunakan apabila dilihat dari sudut pandang yang tepat dan visioner. Begitulah seindah-indahnya memaknai hidup, apalagi tergolong masih muda. Merdeka dalam berpikir dan berperasaan; hak istimewa.

Kembali, hidup memang bak lakon drama.

Kadang begitu bahagia atas semua nikmat Tuhan yang muncul dan terasa. Kadang juga sedih tersedu hingga tak kuat memohon serta mengadu untuk sekedar minta pertolongan. Kehidupan yang kita jalani adalah sebaik-baiknya realita yang dikeluarkan dari mulut orang lain. Apa yang menurutmu bahagia dan baik belum tentu menurut mereka bahagia dan baik pula, hal itu berlaku sebaliknya. Penakaran terhadap sesuatu yang baik masuk ke dalam dirimu hanyalah melalui konsistensi antara apa yang kau pikirkan, apa yang kau rencanakan, apa yang kau ucapkan, dan apa yang kau lakukan itu berjalan senada dan selaras.

Hidup memang bak lakon drama.

Alur maju mundur ditentukan oleh sutradara. Tokoh pemain hanya memerankan segala bentuk mekanisme peran yang ia jalani dalam sebuah cerita. Tidak bisa menggunggat dan mengubah. Hanya bisa berusaha keras menampilkan yang terbaik untuk membahagiakan hidup semua orang yang melihat pentasnya. Baik itu sutradara, rekan kerja, ataupun audiens yang menonton.

Begitupula hidup yang kita jalani selayaknya lakon drama.

Sekian.

Mochamad Fathur Hidayattullah

Palembang, 19 Juni 2021

23.08 WIB

--

--

No responses yet